Hari ini keluargaku pergi jalan-jalan di mal. Setelah asyik berkeliling dan mulai merasa lapar, kami memutuskan menjelajah food court untuk makan malam. Ada satu stand makanan yang menarik perhatian kami.
“Vina, kamu pesankan makanan di Depot Litania ya. Menu yang harganya Rp 45.000,-.” Ayahku berujar padaku.
Aku setuju dan berjalan menuju stand tersebut. “Kak, saya mau pesan menu yang ini dua paket, ya?” pintaku.
“Pesan menu yang A, Kak? Bukan yang B? Tadi orang tuanya bertanya soal yang menu B.” Penjaga stand tersebut memberi tahuku.
Aku memperhatikan tulisan harga sekali lagi. Setelah melihat tidak ada yang aneh, aku menggeleng dengan percaya diri. “Iya yang A, Kak.”
“Baik, Kak. Kira-kira menunya sudah bisa diambil 15 menit ya.”
Setelah struk harga dicetak aku mengucapkan terima kasih dan kembali ke tempat duduk.
Ayahku melihat struk yang kubawa dan mengembalikannya. Setelah 15 menit aku bersama ibuku menuju stand tersebut dan mengambil makanan kami. Begitu melihat menu makanan yang datang, ayahku melotot bingung.
“Menu yang datang hanya dua ini?” tanyanya mulai dengan nada tinggi.
Perasaanku mulai tidak enak. “Mmm, iya.” Aku menjawab dengan pelan.
Tanpa berbicara lagi beliau langsung menuju stand tadi dan sepertinya bertanya-tanya di sana. Ibu yang juga menemani ayahku langsung mendatangiku kembali.
“Vina, dipanggil Papa.”
Aduh, perutku terasa sakit. Sepertinya aku melakukan kesalahan besar! Begitu tiba di sana, beliau langsung membentak dan mengomel.
“Kenapa Vina memesan menu yang ini?! Papa kan sudah bilang pesan menu yang Rp 45.000,- karena beli satu gratis satu!! Jadi bisa ada empat porsi buat kita sekeluarga. Kalau sudah begini, terus bagaimana?!!” omel ayahku dengan nada tinggi.
Beberapa orang sampai menoleh ke arah kami.
“Kenapa kok susah sekali Vina diomongi??! Vina ini sudah usia berapa masa kalimat sederhana masih nggak bisa paham??!! Bukannya semakin pintar, malah otaknya semakin nggak bisa dipakai untuk berpikir?!!!” rutuk ayahku sekali lagi.
Perasaanku sangat berantakan. Selain sedih dan menyalahkan betapa bodohnya diriku, aku juga merasa malu. Air mataku mulai menggenang sehingga pandangan mataku buram, akhirnya aku hanya dapat menundukkan kepala.
“Apa ini menunya diganti saja, Pak?” tanya penjaga stand makanan tersebut.
“Nggak usah, Mbak. Ini memang murni salah anak saya, kok. Ya sudah, terima kasih Mbak.” Akhirnya kami kembali ke meja kami.
Karena hanya membeli dua porsi makanan, sementara kami berjumlah empat orang, jadi makanan harus dibagi.