Aku sangat menyukai buku dan aroma toko buku. Saat ini aku tengah berada di toko buku dan memanjakan mataku dengan semua buku yang terpajang di sana. Beberapa buku menarik mataku dan aku memasukkannya ke dalam tas belanja. Sekarang aku memiliki minat untuk membaca buku-buku pengembangan diri. Mungkin dalam membaca buku itu aku sedikit lamban, tetapi aku benar-benar berusaha memahami isinya dengan pikiran dan perasaan. Hal itu membuat otak dan tubuhku jauh lebih rileks dari sebelumnya.
Kurasa keadaanku sekarang lebih baik dari sebelumnya. Aku memang baru mengikuti sesi konseling sekali dan hendak mengikuti lagi minggu depan karena proses ini tidak hanya sekali. Bahkan mungkin saja nanti bisa mendapat sesi terapi juga. Kalau untuk konseling keluarga mungkin sulit, tetapi akan kuusahakan.
Meski baru satu sesi pertemuan, cukup banyak pola pikir yang terluruskan dalam otakku. Tentunya ini juga dibantu dengan buku-buku yang kubaca itu. Yang bisa kusimpulkan adalah aku benar-benar harus bisa menghilangkan overthink.
Aku memang terlahir di keluarga yang seperti ini. Seperti kataku dulu, ayahku memiliki sikap diktator dan keras seperti ini karena telah dibentuk dari beliau kecil. Hal itu tidak bisa kuubah sama sekali. Cara beliau mengungkapkan kekesalan ya dengan membentak-bentak seperti itu. Aku kurang suka dengan bentakan seperti itu. Jadi kalau beliau melakukannya, ya sudah. Kalau bisa kuhindari tentu akan kuhindari sebisa mungkin. Juga semua kata-katanya tidak perlu dimasukkan dalam hati.
Apa itu susah? Oh sangat susah! Tapi bukan berarti aku tidak bisa, kan?
Apa aku lemah? Ah, sekarang aku akan mengatakan, bahwa aku hanya manusia. Manusia itu memiliki emosi dan bisa merasa terluka. Jika aku sedih, aku bisa menangis. Jika aku marah, aku bisa mengungkapkannya. Memang kita tidak bisa mencurahkan semua isi hati pada orang lain. Tidak semua orang dapat menjadi tempat sampah kita. Jadi kita harus pintar memilih seseorang untuk dijadikan sahabat. Terkadang aku bercerita pada Meggy. Memikirkan dia sendiri juga sibuk dan memiliki masalah sendiri, kupilah mana yang bisa kuceritakan, mana yang bisa kutahan sendiri.
Jadi sekarang aku lebih berusaha menyadari apa yang terjadi pada diriku. Kita sebagai manusia memang harus memiliki awareness pada keadaan mental, bukan sekadar fisik.
Sekarang rasa benci pada diriku sendiri juga lebih berkurang. Aku berusaha menerima diriku yang penuh ketidaksempurnaan ini. Aku juga memberi apresiasi sesekali jika aku telah berprestasi sekecil apa pun. Jadi ada satu pertanyaan untuk diriku sendiri: “Kenapa aku harus membenci diriku sendiri yang sudah berjuang sejauh ini?”
Apa dirimu pantas menerima kebencian dari diri sendiri yang bahkan lebih menyakitkan daripada kebencian dari orang lain? Beberapa orang pasti familiar dengan hal ini:
Kritikus terbesar kita adalah diri kita sendiri.
Yah, aku juga seperti itu. Sampai sekarang bahkan. Tapi menurutku pelajaran menghargai diri sendiri dan bertahan hidup itu memang pelajaran seumur hidup. Sampai akhir hayat mungkin.
Tapi selama kita memiliki kemauan berjuang dan bertahan, itu sudah sangat bagus.