Toxic Relationship

Nurusifah Fauziah
Chapter #21

Me And Quarter Life Crisis

Menunggu keputusan untuk kembali masuk kerja kala Virus Covid-19 masih menjamah seluruh negeri, aku sibuk membaca hal-hal baru yang selama ini terlupakan.

Falcon Publishing bersama dengan Kwikku akan mengadakan kompetisi menulis. Kumpulan 7 Sutradara terbaik di Indonesia bahkan ikut terjun lapangan.

Seperti biasanya, aku terbujur di ruangan ternyaman yang tidak lain merupakan ruang kamar yang agak besar namun dipenuhi banyak barang dari manusia-manusia di rumah ini. Di balik selimut, otakku mulai bergulat. Temanya adalah kisah hidup, bahan tulisan apa yang bisa kuangkat agar layak diceritakan?

Di rentang usiaku saat ini, mereka menyebutnya 'Quarter Life Crisis'. Suatu kondisi di mana dalam rentang usia 20-an mengalami banyak sekali pergulatan dalam hidup. Merasa menjadi manusia yang gagal dalam banyak hal. Setiap harinya ada saja kejutan akan hal-hal baru. Kuantitas bukan lagi menjadi hal yang utama, melainkan kualitas. Dalam fase ini kaum milenial diselimuti rasa kesepian, rasa bersalah, dan kekhawatiran yang terlalu jauh akan hidupnya. Meski tergolong hal yang lumrah, namun jika tidak memiliki pertahanan mental kuat hal itu bisa menjadi jeruji yang akan menghambat proses tumbuh dari segala arah. Itu ada di pola pikir dan kebesaran hati seseorang itu sendiri.

Faktor eksternal juga sangat penting dalam menjalankan kehidupan. Kerabat terdekat setidaknya bisa meredam sedikit rasa gundah. Seperti Mas Arey, aku bersyukur memiliki kekasih sepertinya. Dia selalu tahu bagaimana cara untuk mendukungku. Di tengah gemuruh jeritan isi kepalaku, ia hadir memecah kegelisahan yang ada.

"Kenapa mikirnya jauh-jauh? Ceritakan saja tentang hidupmu," ujar Mas Arey melirik penuh arti.

"Hidupku?"

"Ya, coba saja. Anggap saja sebagai media untuk tempatmu berkeluh kesah. Aku tahu meski kamu terlihat ceria, namun kesedihan di matamu itu tak bisa dibohongi. Kamu perlu sesuatu yang lebih dari kehadiran aku sebagai sandaran." jawabnya dengan nada yang lembut.

Mataku terbelalak mendengar ucapannya. Namun dalam hati kecil rasanya takut untuk mengungkap segala kisah ini. Rasanya agak suram bukan?

"Kamu pasti bisa!" tegas Mas Arey menyulut semangatku.

Ia benar-benar menuntunku untuk kembali menemukan jati diri yang sesungguhnya.

"Aku heran," gelisahku kembali hadir.

"Kenapa?"

"Kenapa jika kita mengungkap sesuatu yang berbeda dengan cara pandang kita sendiri lalu dikatakan kalau kita adalah orang yang sulit? Apakah jika berkata jujur merupakan suatu kesalahan? Apakah dunia harus berjalan dengan 1 rute yang sama? Apakah salah jika kita coba menggali jalan untuk melangkah dengan cara kita sendiri? Apakah menjadi berbeda merupakan kesalahan fatal yang harus dihentikan sesegera mungkin? Apakah semua perkataan orang yang lebih tua selalu benar dan anak yang tengah berusaha tumbuh dikatakan tidak benar? Mengapa di kepalaku banyak sekali pertanyaan?" ujarku dengan tatapan ke sana-ke sini..

"Entah, bagaimana ya jawabnya? Aku hanya mempertimbangkan 1 hal. Bagaimana kalau kita makan ayam pedas kesukaan kamu?" jawab Mas Arey kembali melelehkan kegundahanku.

Kami tertawa bersama saat senja mulai menampakkan wujudnya dengan warna oranye yang indah.

"Apa impian kamu?" Mas Arey bertanya sembari sedikit memiringkan kepalanya.

"Menyaksikan sebuah film yang merupakan hasil karyaku sendiri. Hehehe gak mungkin ya?" jawabku cengengesan.

"Lho kenapa gak mungkin? Berhenti merendah dan lakukan saja apa yang ada di kepalamu itu."

Hmmm. Entah apa yang membuatku menjadi seperti ini. Suara bising di kepala yang teramat menggangguku hilang seketika saat aku bersama dengan pria ini.

♡♡♡

Matahari pagi kembali menampakkan sinarnya. Saat kedua mata masih bisa terbuka lebar, tanda Sang Kuasa masih memberimu waktu dan kesempatan untuk melakukan hal yang terbaik dalam hidup. Entah memperbaiki keadaan atau terus terjebak di sisi kehidupan yang pelik. Semua ada pada genggaman hidup orang itu sendiri.

Bbibbib *suara pesan masuk.

Niken : 'Zy, gimana novelnya?'

'Gue main ke rumah lo aja ya, Ken. OTW nih!'

Tanpa berlama-lama aku mulai tancap gas menuju rumah Niken.

"Widiihhh rumah gue kedatangan tamu agung!" teriak Niken seketika melihat sepeda motorku tiba di depan rumahnya.

"Pansih lo lebay ah!" Kami tertawa cekikikan.

"Sini masuk!"

"Siang, Tante. Apa kabar?" salamku menyapa Ibunda Niken.

"Eh Zya. Baik kok sini masuk!" jawab Ibu Niken sumringah.

Kami pun duduk bersama.

"Gimana-gimana novel lo Zy?" tanya Niken membuka pembicaraan.

"Perkembangannya lumayan, Ken. Thanks ya sudah banyak dukung gue."

"Terus sekarang project apa lagi nih? Pasti gak berhenti dong?!" tanya Niken lagi berusaha menggali diriku.

"Nah ini, ada yang mau gua spoilerin ke lo,"

"Tentang?"

"Tentang impian film yang ada di imajinasi gue,"

"Yaudah buru ceritain!"

♡♡

Suatu kisah berabad-abad yang lalu di Negeri yang sangat jauh dan hijau, seorang puteri cantik bernama Pucelle hidup dengan ayahnya saja yang merupakan pedagang antar desa. Mereka hidup di sebuah kerajaan dengan hutan lebat dan beberapa jurang yang melingkarinya.

Kerajaan tersebut berdiri dengan kekuasaan di tangan Perdana Menteri yang keji. Bahkan kedudukan Raja pun tak bisa membuatnya layak berada di posisi itu untuk menjalankan kebijakannya. Raja yang lemah dan penakut. Sejak kecil sudah dinobatkan menjadi Raja sebab tragedi pembunuhan anggota kerajaan saat itu hanya menyisakannya. Tidak memiliki kekuatan maupun dukungan, status Raja hanyalah sebuah cangkang pelengkap tatanan. Kursi megah dan mahkota yang menawan itu bahkan hanya sebatas aksesoris tak berarti. Hidup Sang Raja pun berada di tangan Perdana Menteri itu.

Suatu hari Ayah Pucelle hendak meninggalkan desa untuk berdagang. Maka sedihlah hati Pucelle karena harus berpisah dengan ayahnya. Untuk mengisi waktu luang, ia melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam membantu penduduk desa yang mengalami kesulitan. Meski seorang gadis muda, namun kebaikan dan semangatnya itu menancar di seluruh tubuh Pucelle.

Sinar matahari masih memancar saat waktu petang mulai tiba. Pucelle saat itu tengah mencuci di aliran sungai yang deras. Dilihatnya seorang pemuda tengah termenung disisi kanan tepi sungai itu. Sungai yang berada di ujung tanah kerajaan ini. Dengan langkah yang hati-hati, Pucelle mendekati pemuda itu seraya bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini seorang diri?"

Pemuda itu hanya menatap Pucelle tanpa berkata.

Lihat selengkapnya