Toys

Bisma Lucky Narendra
Chapter #13

Monolog Rasa

Seusai pentas. 

"Ini ruangan kamar pribadiku di cafe ini."

"Jadi ini coffe shop-mu, Adam?"

"Hasil dari pendapatan yang aku sisihkan dari pemakai jasa keahlian IT-ku, manggung dan menjual lukisan melalui selling online."

"Jadi, lukisa-lukisan di unggahan itu hasil tanganmu sendiri?" Tanpa sadar Drupadi berdecak kagum.

Drupadi baru sadar, dinding kamar Adam dipenuhi beberapa lukisan yang ditempel menghias beberapa bidang dinding. Bau aroma cat air yang masih tercium dan beberap bidang kanvas yang siap dilukis.

Ruangan kamar Adam yang disulap sebagai workshop galeri yang tanpa diketahui hal itu menjadi pemikat perhatian Drupadi. Aku ingin kita bisa lebih sering bertemu di sini. Mauku. Batin Drupadi nakal.

Adam, daya pikatmu itu tidak hanya pada ketampanan, kepintaran bermusik, kecerdasan IT tapi juga pesona itu ada di setiap sapuan kuas lukismu di kain kanvas. Setiap lukisanmu serasa punya ruh. Aku ingin belajar melukis kepadamu suatu hari nanti. 

"Bila, Ibu berkenan. Saya ingin melukis Ibu dengan seragam kebesaran."

"Jangan panggil Ibu. Kita tidak sedang di kantor. Panggil saja aku dengan Drupadi, Adam. Itu terdengar lebih nyaman di telingaku."

"Baiklah bila itu keinginan pemiliknya. Drupadi."

"Serius kah kamu dengan keinginan melukisku?" Adam mengangguk mantap. Seorang Barista masuk dengan dua gelas Capucino hangat.

"Spesial untuk Ibu. Ma'af. Untuk seorang Drupadi yang cantik." Drupadi tersanjung dengan pujian Adam yang to the point itu.

Sewaktu Adam mengucapkan itu, serasa ada yang melambung di hati Drupadi. Seakan tidak mau melewatkan kesempatan dan kehilangan peluang, detik itu juga Drupadi meminta dengan sedikit merengek-rengek dan merajuk untuk menjadi objek lukisan.

"Drupadi, sekarang sudah larut. Kasihan Jane akan menunggumu lebih lama." 

"Terus kapan Adam?"

"Besuk malam pukul tujuh. Aku tunggu di sini." Drupadi mengangguk.

"Sekarang minumlah selagi masih hangat." Adam tersenyum manis.

Drupadi dan Adam menikmati segelas Capuccino dengan duduk berdampingan di sofa panjang. Sedekat itu mereka saat ini. Drupadi Duduk dengan anggun dengan tersenyum manis bak monalisa.

Bibir Adam mesesap kopi sembari matanya mengamati dengan cermat setiap tekstur wajah perempuan dewasa di sampingnya. 

Drupadi tidak terlihat merasa risih dengan tatapan mata yang tajam menikam paras rupawan yang tanpa disadari ada semu merah karena ada desakan getar lembut yang tidak mengenakan di dasar hati. Drupadi hanya takut riak gelombang hati itu terbaca di wajahnya. 

Maka, Drupadi akhirnya malu. Tatapan mata lelaki ingusan yang mulai tumbuh dewasa di sebelahnya itu terhadap wajah dan tubuh perempuan matang sepertinya melahirkan rasa tak karuan.

Lihat selengkapnya