Arin dan Fia berjalan berdampingan dengan tas laptop masing-masing. Tidak ada percakapan di antara mereka karena Arin sendiri merasa dia tidak cukup dekat dengan Fia untuk memulai obrolan. Atau mungkin itu hanyalah alasan yang Arin buat karena dia tidak pandai bersosialisasi.
Mereka berjalan melewati halaman depan ruang baca dan menyebrangi jalan utama area sekolah. Langkah Fia lebih cepat dibandingkan Arin. Dia tidak sadar telah meninggalkan Arin di belakang. Meskipun Arin mengetahuinya, Arin justru tidak menegur perempuan berkacamata itu.
Fia terus berjalan menuju jalan setapak yang mengarah ke aula sekolah. Itu adalah jalur pintas ke kantor penjaga asrama. Arin, yang masih menyebrangi jalan utama, hanya diam sambil memperhatikan punggung Fia yang memilih jalur itu. Arin tahu Fia terburu-buru, jadi dia memutuskan untuk mengikutinya saja.
Lalu, dia melihat Fia menoleh kesampingnya. Perempuan berkacamata itu tertegun sendiri, kemudian menoleh ke belakang. Tatapan Arin bertemu dengan Fia diikuti helaan napas Fia. Dia tidak mengatakan apa pun sampai Arin berdiri di sebelahnya. Mereka lanjut berjalan melalui jalur pintas dari aula sekolah, tetapi kali ini Fia melangkah lebih pelan agar bisa seiringan dengan Arin.
“Kenapa, sih, kau selalu lambat kalo jalan, Rin?”
“Masa’? Bukannya kau yang jalan terlalu cepat?”
“Soalnya aku belum mulai piket, makanya aku buru-buru,” jawab Fia.
Arin justru semakin terheran dengan sikap Fia. Jika dia terburu-buru, kenapa dia tidak pergi saja? Dia bahkan sampai menunggu dirinya selesai memasukkan laptop ke tas. Begitulah yang Arin pikirkan. Tidak tahan, Arin justru menanyakannya pada Fia. Namun, jawaban yang dia dapat malah ...
“Kalo gitu, kenapa Fia enggak pergi duluan aja tadi?”
“Gak papa, aku mau ada kawannya aja.” Fia santai menjawab sambil menggeleng.
Alasan macam apa itu? Pikir Arin semakin bingung.
Jalan setapak itu membuat mereka memutari bagian depan aula sekolah yang terdapat pilar-pilar di pinggir aula. Aula SMA Biantara adalah aula persegi terbuka dengan salah satu sisi terdapat dinding menandakan batas belakang aula. Aula dibersihkan dan digunakan untuk salat Magrib berjamaah mendatang, sesuai dengan peraturan sekolah. Ketika mereka melewati aula, mereka dapat melihat kakak kelas yang sedang piket menyapu lantai aula dan dua laki-laki sedang mengatur perangkat suara. Arin sekilas melihat wajah mereka berdua dan mengenali salah satunya adalah laki-laki dari kelas yang sama dengan Fia dan Arin. Dia berpikir keras untuk mengingat nama laki-laki itu tapi percuma.
Salah satu dari mereka bangkit dan menoleh ke arah Fia dan Arin. Laki-laki itu tersenyum pada mereka, bahkan menyapa singkat sambil melambai tangan pendek. “Oi.”
Fia mengangguk sebagai respon, sedangkan Arin kebingungan karena tiba-tiba disapa seperti itu. Arin bahkan tidak tahu kepada siapa laki-laki itu menyapa. Arin ingin membalas, tetapi dia ragu jika sapaan itu memang ditujukan untuk dirinya. Terlebih lagi, Arin tidak ingat namanya dan hanya mengenal wajahnya berasal dari kelas X lain. Alhasil, Arin hanya celingak-celinguk melihat Fia dan laki-laki itu bergantian.
Setelah melewati mereka, Fia bertanya pada Arin, “Kenapa kau diam aja, Rin?”