Arin meninggalkan ruangan loker dan sebisa mungkin menghindari siswa lain yang berdesak-desakan. Dia berjalan serapat mungkin dari dinding di punggungnya, dan perlahan melangkah ke samping.
Arin menghembuskan napas lega begitu dia berdiri di teras kantor penjaga. Arin menengok ke bawah, dan mendapati berbagai pasang sendal saling tertimpa di depan kantor. Dia melirik ke kanan-kiri dan menemukan sendal hijaunya tertimpa sendal lainnya. Arin mengambil sendal kemudian memindahkan ke pinggir. Tepat sebelum memakainya, seorang cowok berlari ke arah kantor penjaga asrama. Alih-alih bergegas masuk ke dalam kantor, dia justru berdiri tepat di hadapan Arin. Dia memegang kedua lututnya setelah kelelahan berlari, diikuti napasnya yang tersengal-sengal.
“Untung ... ada kau ... di sini,” ucapnya di antara napasnya yang tidak teratur. Nada bicaranya terdengar lega setelah dia berhasil menemukan Arin di kantor penjaga asrama.
Arin menautkan alis terheran. Dia tidak ingat jika dirinya cukup penting sampai ada seseorang yang mencarinya seperti ini. Terlebih lagi, siapa laki-laki ini?
Tidak menyadari ekspresi heran di wajah Arin, laki-laki itu lanjut bicara to the point pada wanita itu. “Aku minta tolong, berikan ini pada Juni, ya. Jangan bilang ini dariku.”
Keheranan Arin berlipat ganda setelah mendengar perkataan laki-laki itu. Tangannya mengulurkan sebungkus kresek berisi beberapa roti isi yang dijual di kantin sekolah.
Alih-alih langsung menerimanya, Arin justru berkata, “Berikan aja langsung pada orangnya.” Lagipula, aku bukan kurir makanan. Batin Arin heran sekaligus merasa tidak senang. Sesaat dia berpikir memang ada orang yang mencarinya, tetapi dugaan Arin sendiri membuat dia merasa malu.
“Aaah, Juni, ya? Bukannya dia sakit, ya? Aku dengar dia sakit jadi aku mau memberikan ini. Dan aku enggak bisa masuk asrama cewek,” ujarnya.
Arin teringat seorang siswi yang sakit hari ini di kamar 110. Namun, Arin tidak tahu jika siswi itu adalah Juni. Arin mengenal Juni karena mereka adalah teman sekelas. Selain itu, Juni adalah salah satu dari teman sekamar pertama Arin di awal semester. Meskipun sekarang mereka berada di kamar yang berbeda, mereka masih sering berbicara satu sama lain. Tentu saja, Juni yang selalu memulai percakapan lebih dahulu.
Arin tidak menyanggah perkataan laki-laki itu karena dia juga tahu aturannya―para siswa tidak boleh saling memasuki asrama lawan jenis, apa pun alasannya. Arin termenung beberapa saat sembari menatap sekantung roti isi di tangan laki-laki itu. Dia tidak tahu jika roti isi yang dijual di kantin bisa ‘menyembuhkan’ orang yang sedang sakit di asrama.
“Sudahlah, berikan saja padanya.” Dia tidak sabar menunggu Arin, lantas menarik lengan baju perempuan itu dan memberikan plastik rotinya.
“Hei, aku belum bilang aku mau ngantar ini ke dia,” protes Arin.
“Antar aja, gak papa. Tadi aku udah minta tolong ke Carla, tapi dia enggak mau.” Lalu dia pergi berlari meninggalkan kantor tanpa mendengar sanggahan Arin.
Jadi, Carla boleh menolak, tapi aku enggak? Batin Arin mendengus kesal.
Arin masih termangu untuk beberapa saat dengan kantung roti di tangan. Arin tidak punya pilihan selain mengantarkannya kepada Juni.
“Tapi, aku lupa belum tanya nama dia siapa.” Lagi-lagi kebiasaan Arin menempatkan dirinya di posisi yang sulit. Dilihat dari cara laki-laki itu memanggil Arin dan mengenal Juni, Arin menebak dia berasal dari angkatan yang sama dengannya. Akan tetapi, dia tidak tahu namanya karena kelas mereka berbeda. Arin tidak yakin dirinya berani untuk menanyakan nama orang itu meskipun dia masih ada disini.
Arin berjalan kembali ke asrama. Dia berjalan lurus dari kantor penjaga asrama menuju lapangan upacara. Dia melewati lapangan sambil sesekali menoleh ke aula yang menghadap langsung ke lapangan. Arin kemudian berjalan sampai persimpangan yang memisahkan kantin, asrama perempuan, asrama laki-laki, dan jalan utama menuju gedung sekolah. Arin menoleh ke kiri, di mana terdapat jalan utama lurus mengarah ke perpustakaan, ruang baca, gedung sekolah dan kebun belakang sekolah yang berada di ujung jalan. Pepohonan berdiri tegak di sisi kanan dan kiri jalan hingga bagian atas pohon saling bersinggungan. Cabang-cabang dan daun yang rindang seakan membentuk naungan yang menutupi bagian atas jalan. Pemandangan ini mengingatkan Arin dengan foto-foto yang terlihat di internet. Namun, bukan itu saja yang membuat pemandangan di sore itu terlihat menarik.
Di bawah dedaunan yang rindang, ada belasan senior laki-laki yang sibuk menyelesaikan piket mereka dengan menyapu jalan utama. Untuk pertama kalinya, Arin melihat para pemuda SMA menyapu dedaunan di sepanjang jalan dengan sapu lidi di tangan mereka. Sejak memasuki SMA Biantara, Arin harus membiasakan diri dengan pemandangan itu. Terlebih lagi, ketika ada teman wanita seangkatan mereka yang lewat, mereka akan saling bertegur sapa bahkan bertukar gurauan. Pemandangan itu juga menarik pehatian Arin, mengingat dirinya tidak banyak berbicara dengan teman seangkatan sendiri.