Ding Dong. Ding Dong.
Suara bel sekolah menggema di lorong sekolah sampai ke kelas. Suara itu terdengar lebih jelas dengan pintu kelas yang terbuka selama pembelajaran. Bel yang terdengar menandakan sudah masuk waktu istirahat kedua sekaligus waktu istirahat untuk makan siang dan salat Zuhur. Guru Biologi mereka yang sedang mengajar di kelas pun berhenti bicara sesaat ketika bel berbunyi. Suara bel berhenti dan digantikan oleh desas desus murid yang serempak terdengar dari masing-masing kelas hingga menggema ke lorong. Kelas Arin juga salah satunya. Dia bisa melihat teman-teman di depannya sudah berbicara pelan ke sisi kanan atau kiri dari posisi duduk mereka, terlepas masih ada guru berdiri di hadapan mereka.
“Pelajaran kita hari ini sampai sini saja.”
“Iyaaa, Sir,” sahut murid-murid di kelas.
“Oh, iya. Jangan lupa minggu depan bawa laptop, karena mungkin kita mau bagi kelompok untuk presentasi sekaligus buat PPT-nya, ya.”
“Iyaa, Sir.”
“Okee, Sir.”
Para murid bersahutan sembari merapikan barang-barang mereka. Guru itu juga mengambil buku yang dia bawa dari kantor, kemudian melangkah keluar dari kelas. Setelah memastikan guru meninggalkan ruangan, Arin baru memulai menyusun buku dan pulpen ke dalam tas. Sebagian dari temannya sudah menyandang tas dan meninggalkan ruang kelas. Salah satunya adalah Fia. Dia melirik ke Arin yang masih menyusun barang. “Masih lama, Rin?”
“Kayaknya iya. Kau duluan aja, Fia.”
“Oke, aku duluan, ya. Aku malas kalau ngantri lama kali di kantin,” dalih Fia segera pergi dari kelas. Arin hanya menarik napas pendek dan memaklumi sifat temannya itu.
Setelah Arin menyandang tas ransel di pundak, dia melihat Juni masih diam di kursinya. Kepalanya bertumpu pada tangan yang dilipat diatas meja. Ketika Arin melewati Juni, dia melirik ke wajah Juni. Semula Arin hendak membangunkan Juni karena mungkin saja dia tertidur, tetapi Juni tidak menutup matanya. Dia hanya menarik napas dalam, kemudian menghela napas panjang. “Jun, kau kenapa?”
“Oh, Arin ... Gak papa. Kepalaku ... agak pusing aja,” lirih Juni. Dia berbicara terputus-putus.
“Maaf, ya,” ucap Arin singkat dan langsung menyentuh kening Juni dengan telapak tangannya. Gak panas, jadi bukan demam. Batin Arin menyimpulkan.
“Jadi gimana? Mau dipanggil kawan sekamarmu?”
“Oh, boleh, Rin.”
Arin mendongak dan melirik ke sekeliling. Dia mengingat salah satu teman sekamar Juni juga ada di kelas yang sama dengan mereka. Orang itu sudah menyandang tas dan hendak meninggalkan kelas.
“Kansa! Oii, Kansa!”
Arin yakin dia memanggil nama orang itu dengan kuat, tetapi yang dipanggil justru tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
“Kansa udah balik duluan, Jun,” ujar Arin.
“Hmm ... ya udah, deh.”
“Terus gimana?”
“Aku mau balik, tapi kepalaku masih pusing.”
Arin semakin bingung seiring satu per satu teman mereka berjalan meninggalkan kelas. Ditambah lagi, tidak seorangpun di antara mereka yang memerhatikan kondisi mereka berdua meskipun mereka melihat Arin dan Juni. Arin bahkan bertukar tatapan dengan mereka yang melewati dirinya, tapi mereka lanjut berjalan tanpa bertanya.
“Gak mungkin ditinggal disini sendirian, kan? Ayoklah, setidaknya makan siang di kantin atau gimana gitu.”