“Arin, pinjam kamusmu!”
Tiba-tiba peserta cowok bangun dan berlari pindah duduk di samping Arin dan Juni. Keduanya terkejut melihat cowok itu yang bangkit tiba-tiba. Arin bahkan tidak sempat mengatakan apa pun karena cowok itu sudah menarik kamus yang ada di hadapan Arin.
“Eh, ini terjemahan Bahasa Inggris ke Indonesia,” ujar cowok itu menyadari dia memegang kamus yang bukan ingin dia pakai.
Melihat tingkah cowok itu membuat Arin lebih santai hingga dia pun ikut menggunakan Bahasa Indonesia setelah dipengaruhi oleh dua orang yang bersamanya. Arin menghela napas panjang dan memberikan kamus terjemahan Bahasa Indonesia ke Inggris pada Fadil. “Haaah. Ini ada yang satu lagi, Fadil.”
Fadil menerimanya dan sibuk membalikkan halaman, mencari kosakata di kamus. “Nah, ini dia!” Fadil asyik sendiri mengerjakan tugasnya. Juni dan Arin berhenti mengobrol karena mereka memiliki tontonan yang lebih menarik di depan mata mereka.
“Ih, Fadil asyik sendiri! Bantu aku juga, dong!” bujuk Juni.
“Enak aja,” tolak Fadil tidak senang.
“Tapi aku baru sembuh sakit, lho, Dil,”
“Kalau sakit, kenapa ikut ekskul? Ya tidur aja di asrama sana,” balas Fadil.
“Tapi, aku mau ikut belajar malam nanti,” ucap Juni beralasan.
Arin pun akhirnya mengetahui alasan dari sikap Juni. Awalnya Arin ingin mengatakan pertanyaan yang sama dengan Fadil, tetapi dia takut Juni tersindir oleh pertanyaannya. Di sisi lain, Fadil justru menanyakan Juni seakan itu pertanyaan lumrah dalam percakapan biasa.
Fadil akhirnya selesai mengerjakan dengan menggunakan dua kamus milik Arin. Dia mengembalikan kamus itu pada pemiliknya sekaligus menyampaikan terima kasih.
“Aku juga makasih, Dil,” ujar Fadil. Cowok itu menautkan alis bingung, tetapi Arin tidak menjelaskan arti perkataannya sendiri. Dalam benak Arin, dia berterima kasih pada Fadil yang sudah mewakili pertanyaan yang ingin Arin lontarkan.
Fadil menutup buku tulisnya dengan sedikit menghentak. Wajahnya menunjukkan kepuasan tersendiri setelah menyelesaikan tugasnya. Arin dan Juni memerhatikan tingkah Fadil, kemudian Juni mengomentari sikapnya.
“Sombong amat karena sudah selesai,” cibir Juni.
“Iya, dong! Sekarang aku udah bisa santai,” balas Fadil bangga.
“Kau gak lupa apa yang dibilang Brother Dimas tadi? Cerita yang kita tulis itu dipakai untuk praktek storytelling,” ujar Juni mengingatkan.
“Itu gampang. Tinggal dihapal aja, apa susahnya?” ucap Fadil enteng.
Juni menarik napas dalam dan menghembuskan napas panjang, kemudian mengatakan, “Kau ini memang agak lain, Dil.”
“Lah? Kan, aku bilang apa adanya. Kalau disuruh hapal, ya udah. Tinggal dihapal, kan?”
“Storytelling bukan soal hapal teks aja, Dil,” timpal Arin berusaha membenarkan.
“Jadi, apa lagi yang disiapkan selain hapalan?” tanya Fadil. Tatapannya tertuju pada Arin.
“Yaaa, ada dialog juga, jadi dialognya harus dimimik sesuai karakter,” jelas Arin.
“Ah, itu gampang. Bisa di-improve aja.” Lagi-lagi Fadil berkata enteng.
Arin pun tidak ingin menjelaskan lebih lanjut karena Fadil seakan terus menyanggah apa pun yang disampaikan oleh Arin dan Juni.
Ketika Arin menyerah untuk melanjutkan percakapan dengan Fadil, seorang murid laki-laki dari peserta ekstrakurikuler yang sama ikut berpindah tempat duduk di antara Fadil dan Arin. Posisi duduk mereka tanpa disadari telah membentuk lingkaran kecil berurutan dari Arin, Juni, Fadil, dan murid laki-laki terakhir. Arin pun teringat cowok yang duduk bersama mereka adalah murid dari angkatan yang sama tapi kelas yang berbeda. Terlebih lagi, Arin juga melihat cowok ini bersama Fadil kemarin. Fia juga sempat menyebut nama laki-laki di sampingnya.
“Kenapa kau pindah ke sini, Roby?”