Bel sekolah berbunyi sebagai tanda waktu untuk makan siang telah tiba. Namun, Arin dan teman sekelasnya baru keluar dari kelas 10 menit setelah bel berbunyi. Guru kimia mereka terlalu ‘asyik’ mengajar dan tidak menyadari ada bel sekolah yang telah berbunyi.
Salah satu murid mengangkat tangan kanan ke atas dan menyela penjelasan guru tersebut. “Maaf, Sir. Tapi, waktu pembelajaran kita sudah selesai, Sir.”
“Oh, benarkah?” tanya guru itu terkaget.
Murid itu mengangguk. “Iya, Sir. Tadi ada bel istirahat kedua, Sir.”
“Okeee. Kita lanjutkan pelajaran kita di waktu berikutnya, ya.”
Terdengar helaan napas lega dari beberapa murid di waktu yang bersamaan. Arin juga salah satunya. Dia menghela napas panjang setelah akhirnya ada murid yang berani ‘mengadu’ tentang bel istirahat. Masing-masing dari mereka pun bergegas menyusun buku dan alat tulis, kemudian menyandang tas dan meninggalkan ruang kelas. Arin juga menyandang ransel, kembali ke asrama. Tahun ini Arin mendapat kamar di ujung lorong utara di lantai 1, bersebelahan dengan tangga menuju lantai atas. Suasana di kamar Arin tidak jauh berbeda dibandingkan saat Arin masih berada di kelas X. Namun, ada perubahan besar yang dia rasakan karena susunan kamar yang Arin dapatkan di tahun ini.
“Carlaaa! Tunggu aku, dong!”
Terdengar teriakan Juni dari tangga menuju lantai atas. Arin melirik dan mendapati Carla sudah menuruni tangga dan melewati Arin, yang berdiri diam melihatnya di ambang pintu kamarnya sendiri. Tidak lama setelah itu, Arin melihat Juni menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dan sama seperti Carla, Juni hanya berlalu begitu saja tanpa menyapa Arin.
“Eh, ada Arin.”
Sampai akhirnya ada seseorang yang turun dari tangga itu dan menyadari keberadaan Arin. Arin pun menyapa balik, “Hai, Fia.”
“Kau enggak ke kantin?” tanya Fia. Dia sudah membawa botol minum dan sendok-garpu di tangan.
“Aku baru balik dari kelas, tadi keluarnya agak lama,” balas Arin.
“Ooh. Oke, deh. Aku duluan, ya.”
Fia pun pergi meninggalkan Arin. Arin berbalik sesaat untuk melihat punggung Fia yang sudah berjalan jauh di lorong menuju lobi asrama.
Arin mendapat kamar di lantai 1, bersama dengan tujuh teman lainnya dari kelas XI yang berbeda. Kamar Arin, mau tidak mau, berbaur dengan murid kelas X lainnya, yang juga menempati kamar asrama di lantai 1. Sedangkan murid kelas XI lainnya, termasuk Fia, Carla, dan Juni, menempati kamar di lantai 3. Terakhir, ada kakak tingkat kelas XI menempati kamar di lantai 2.
Ketika Arin masuk ke kamar, teman-teman sekamarnya sudah tiba lebih dulu di dalam kamar.
“Apa botol minummu sudah diisi?”
“Belum, aku mau ngisinya di dispenser di lobi.”
“Oke, kita bareng ke kantin, ya. Hana, kau juga bareng kita, kan?””
“Iyaaa. Puput gimana? Mau bareng nggak?”
“Ayo barengan ke kantin!”
Arin mendengar percakapan teman-teman sekamarnya berencana untuk berangkat ke kantin bersama.
“Kami duluan, ya, Rin!” seru salah satu dari mereka tanpa ada ajakan untuk Arin. Mereka menyadari kedatangan Arin yang sedikit lebih lama ke kamar, bahkan menyapa Arin sebelum mereka pergi ke kantin. Namun, tidak ada ajakan atau tawaran untuk menunggu Arin agar mereka bisa pergi bersama. Dia pun mulai membiasakan situasi ini. Lagipula, Arin memang tidak terlalu dekat dengan teman sekamarnya sekarang karena Arin lebih sering bergaul dengan Juni dan Fia. Sekarang, Arin sudah berada di kamar dan kelas yang terpisah dengan mereka, Arin merasa kesepian meskipun baru beberapa hari masuk ke sekolah.
Mungkin aja karena aku lambat balik ke asrama, jadi mereka pergi buru-buru. Batin Arin, sebisa mungkin tidak mau menyalahkan teman-temannya. Tidak mengherankan jika para murid buru-buru untuk makan siang ke kantin. Alasan itu dibuktikan dengan pemandangan yang Arin lihat di kantin.