Beberapa hari berlalu, Arin kembali ke kesibukan sekolahnya, dengan sesekali memikirkan ide untuk naskah mereka.
Namun, entah kenapa Arin justru tidak mendapatkan ide baru untuk memulai naskah film tersebut.
Arin mulai banyak melamun karena sering memikirkan naskah film. Bahkan, dia tidak bisa fokus selama kegiatan ekstrakurikuler.
"Rin, Arin."
Arin sontak kaget mendengar panggilan Roby yang duduk di sampingnya. Bahkan, cara Roby memanggil Arin cukup aneh. Dia mengetuk lantai kosong yang tepat ada di hadapan Arin.
"Ada apa, Roby?" Tanya Arin. Kali ini dia menatap Roby, tidak melamun lagi.
"Kenapa kau banyak melamun?"
Tidak seperti biasanya, Roby menanyakan keadaan Arin. Selama ini Arin berpikir bahwa dia hanya peduli pada Fia saja.
"Gak papa. Aku kepikiran soal naskah film kita aja," ujar Arin. Entah kenapa dia menjadi geli sendiri karena menyebut naskah film sebagai 'naskah kita'.
"Butuh bantuan?" Tanya Roby.
Sebelum Arin sempat memberi jawaban, Fadil dan Juni baru tiba di ruang baca. Melihat Arin dan Roby sedang bersama, Juni menghampiri mereka dengan nada bicara riang.
"Hey, guys! What are you doing?" Seru Juni. Kali ini dia berbahasa Inggris dengan lantang karena sudah bertemu dengan anggota ELC yang lain.
"Bahas naskah film," balas Roby.
"Oh, apa sudah selesai?" Tanya Fadil tertarik. Sayang sekali, Arin harus mematahkan semangat cowok itu.
"Belum, Dil. Aku bingung bagaimana memulainya."
"Lah, tapi kalian ada bertiga yang mengerjakan naskah itu," timpal Fadil.
"Iya, aku tahu. Tapi susah untuk kami bertiga berkumpul."
Waktu yang bisa digunakan untuk membahas naskah adalah saat sesi belajar malam. Akan tetapi, Carla dan Fia memiliki kesibukan tersendiri sehingga mereka sulit untuk diajak berkumpul. Ketika Fia bersama Arin, Carla justru tak ingin diganggu karena dia sedang duduk dan belajar bersama Miko di kantin. Begitu juga sebaliknya. Ketika Arin duduk bareng dengan Carla, Fia justru menghilang dan pergi ke perpustakaan selama sesi belajar malam.
Upaya Arin untuk mengumpulkan mereka semakin sulit. Memikirkannya kembali saja membuat Arin mengembuskan napas panjang.
"Pelan-pelan aja, kali. Kan, tenggat pengumpulan naskahnya masih lama, kan?" Tanya Juni.
"Iya, tapi kita harus menyelesaikan naskahnya dulu sebelum dapat tanda tangan untuk surat izin pemakaian handphone itu," ujar Roby membawa kabar tidak menyenangkan.
"Hah? Kenapa gitu?" Juni terdengar bingung, begitu juga Fadil.
"Iya, karena Sir Kevin mau lihat naskahnya dulu sebelum kasih izin."
"Lah, kenapa gak kau tunjukkan saja poster lombanya?"
"Sudah, tapi karena ini untuk pemakaian elektronik, jadi Sir Kevin lebih waspada dari yang kukira," jelas Roby.
Mereka tidak punya pilihan lain selain menyelesaikan naskah secepat mungkin. Tidak harus selesai semuanya, setidaknya sudah 50% selesai. Begitulah pesan Sir Kevin yang disampaikan Roby pada Arin.
"Aaaah, kalau gini caranya, kapan kita bisa mulai? Sia-sia aja kita berkumpul kemarin itu," gerutu Juni. Perkataannya membuat Arin semakin terpuruk. Pundaknya turun seiring semangatnya yang meredam.
Seolah Roby dan Fadil menyadari Arin yang terlihat lesu, mereka berbicara pada Juni.
"Kalau gitu, kau aja yang kerjakan, Jun," timpal Fadil.
"Eeeh, mana bisa gitu. Aku, kan, dapat bagian untuk jadi pemain. Masa' pemain yang buat naskah?"
"Siapa bilang pemain enggak boleh buat naskah? Kalau bisa, ya, kenapa engga?"
"Justru karena aku enggak bisa, makanya aku gak mau," balas Juni.
"Kenapa?"
"Ya, karena itu susah."