Tragedi Cinta Jilid 1

Tinta Emas
Chapter #3

Bagian 2

Paris, Prancis

Sembilan belas tahun kemudian

           Stefan Lee baru saja tiba di Paris untuk menghadiri sebuah pameran seni yang sedang diadakan sebagai bagian dari perayaan festival musim semi. Pria tampan dengan mata biru itu adalah seorang sutradara terkenal di Hollywood. Ciri khas Eropa yang tergambar dari kedua bola mata biru dan rambut pirang pria berusia 27 tahun itu menjadi salah satu daya tariknya selain profesi kerennya. Sebagai mantan aktor, pria lulusan sekolah seni itu jelas sangat populer. Meski bukan lagi seorang aktor, tapi namanya masih bertahan di antara nama orang-orang populer. Tapi, apa gunanya popularitas, wajah tampan, dan kekayaan jika Stefan bahkan tidak bisa memiliki seorang kekasih atau pasangan hidup? Semua menjadi sia-sia. Sayangnya itulah kehidupan yang harus dijalaninya ketika ia tak mampu merasakan ketertarikan terhadap wanita, tapi juga tidak bisa menjalin hubungan asmara dengan seorang pria lantaran memikirkan harga diri keluarganya.

Stefan sudah cukup membuat malu keluarganya dengan kenyataan dirinya yang seorang penyuka sesama jenis. Ia tak mau menambah berat beban hidup ibundanya jika sampai memiliki hubungan asmara dengan pria yang tak akan sanggup diterima sang Ibunda. Sekarang saja ibundanya sudah demikian hancur perasaannya dengan keadaan Stefan yang seumur hidupnya tak akan pernah menikah dan memiliki keturunan seperti kebanyakan orang.

           “Bawa pulang barang-barangku. Aku akan menyusul,” kata Stefan pada Jasper, sopir pribadi kakaknya yang datang menjemputnya di bandara.

           “Tuan mau ke mana?”

           “Aku harus mengunjungi pameran. Bukannya hari ini Illona sedang mengadakan pameran?”

           “Iya, tapi…”

           “Aku akan pulang terlambat.”

           “Tuan, tunggu!” teriak Jasper saat melihat Stefan tiba-tiba pergi.

           Stefan sudah tidak lagi tinggal serumah dengan keluarganya setelah ia mengakui dirinya sebagai seorang penyuka sesama jenis di hadapan sang Ibunda yang meski tak mengusirnya, ia tahu persis kenyataan itu membuat ibundanya merasa tertekan. Itulah sebabnya Stefan pergi meninggalkan Paris enam tahun lalu dan menjadikan pekerjaan sebagai alasan agar ia bisa pergi dari rumah tanpa membuat ketiga saudaranya mengira ia diusir dari rumah. Secara langsung sang Ibunda memang tak pernah mengusirnya. Tapi, sikap yang ditunjukkan beliau sudah lebih dari cukup untuk membuat Stefan sadar bahwa kehadirannya tidak lagi menjadi kebahagiaan bagi sang Ibunda. Ia memutuskan pergi dari Paris dan menerima tawaran pekerjaan dari salah seorang temannya yang bekerja di sebuah perusahaan film di Hollywood.

           “Kita sudah sampai, Tuan.”

           “Terima kasih. Ambil saja kembaliannya,” kata Stefan menyerahkan beberapa lembar Euro pada sopir taksi yang mengantarnya ke depan galeri Fladimir Art. Sebuah galeri seni tua yang telah berdiri hampir berusia satu abad.

Stefan berjalan menaiki anak tangga di depan galeri yang terlihat ramai oleh para pengunjung. Tampak beberapa selebriti, bahkan wartawan di antara mereka. Stefan sempat mendengar di acara pameran ini para seniman dan selebriti berkumpul untuk mengadaan lelang yang dananya akan digunakan untuk kegiatan sosial membangun Rumah Sakit di Afrika sebagai bagian dari kerja sama para seniman dengan beberapa yayasan kesehatan dunia.

           “Bukankah itu hebat? Kau bisa mencobanya.”

           “Iya, seperti tahun lalu dan kalau seingatku tanggapan mereka sangat bagus.”

           “Aku akan memikirkannya.”

           “Beberapa seniman pasti akan mendukungmu.”

Lihat selengkapnya