Aku Zen!
Dan aku memutuskan untuk tidak dulu berurusan dengan cinta. Untuk semetara waktu dunia cintaku sedang runyam.
Masih seperti sore-sore lalu, aku sedang duduk bosan dalam alunan film imajiner yang kuciptakan sendiri melalui novel Sir Arthur Conan Doyle, dengan secangkir coklat panas dan setoples kukis coklat.
Pukul 16.20 sore. Kuletakkan novel yang agaknya mulai menjemukan itu di samping toples kukis di samping coklat panas. Kurasa aku mulai mual karena terlalu sering membaca kata "murder" disitu. Aku berdiri bosan demi merenggangkan persendian yang sejak setengah jam lalu menegang. Kutopang dagu dengan kedua tangan di pagar balkon sambil menatap bosan ke arah jendela kamar rumah nomor 91. Lurus tepat di hadapanku. Seorang gadis semampai dengan blus biru muda sepaha baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang menggantung di lehernya. Tentu saja aku mengenalnya. Namanya Dzakira, dia selalu melakukan adegan te-pe-te-pe alias tebar pesona habis mandi-nya tiap kali mendapatiku duduk atau berdiri sendiri di balkon; mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah, hitam nan panjang berkilau macam ambassador sampo, pura-pura tidak melihatku, kemudian menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya lalu pura-pura kaget. Sambil tersenyum manis dia berkata, “Oh, hai Zen! Dari tadi ya disitu?" Kujawab dengan cengiran kuda dan berbalik sambil lalu dengan menyambar novel di atas meja. Kutinggalkan dia di bingkai jendela ovalnya. Memangnya wajahku terlihat seperti lelaki hidung belang yang bernafsu setiap kali melihatnya beradegan semacam itu?
Kuakui Dzakira cantik, -sebulan lebih muda dariku, dan menarik. Otakku yang mengatakannya, bukan hatiku.
Vakum 3 bulan dari sekolah justru membuatku merana. Tak ada bel, tak ada bola dalam kelas, dan tak ada Hanum. Aih, Hanum lagi, Hanum lagi. Lagi lagi Hanum. Milik siapa dunia ini sebenarnya?
Selepas kuletakkan Sherlock Holmes di pojok meja belajar yang berantakan, bergegas kuraih tirai jendela dan menarik ujungnya ke tepi. Aku tidak ingin pemandangan si cantik Dzakira mengganggu tafakkurku.
Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Masih dengan bosan, kuperhatikan langit-langit kamar seakan berniat menimpaku. Perasaan apa ini? Kadang lepas dan ringan, kadang ngilu, kadang sangat ngilu. Ambigu! Kupejamkan mata dan mencoba menikmatinya, berharap saat kubuka nanti semua kembali baik-baik saja. Setidaknya aku boleh beranggapan bahwa persoalanku ini hanya mimpi, kan? Ya, silahkan...
Tidak kuperdulikan gelap atau setitik cahaya yang mengisi ruang di mataku. Bahwa setiap kali kupejamkan mata, yang terlihat olehku hanya satu, Hanum. Hanya itu.