Tragedi Jatuh Cinta

Alfiani Intan
Chapter #2

Masih Zen

Malam-malam setelah tragedi I itu pun lebih merana dari yang sudah-sudah. Aku melamun di teras atas, berpangku tangan tersenyum-senyum sendiri, memandang langit malam dengan perhiasannya berupa bintang-gemintang dan purnama yang bercokol gagah sisa Agustus kemarin. Hatiku diam-diam gelisah, terusik oleh senyum manis Hanum. Aduhai, nun jauh disana, entah dimana, apakah yang sedang kau lakukan, Num? Adakah kau merasakan pula rindu yang kurasa? Aih, rindu kataku?!

Tenang, Zen, stay cool! Jangan biarkan hanya lantaran cinta, kauacuhkan begitu saja pribadimu yang cuek bebek itu.

Ah, tapi tak apa lah. Hanya pada Hanum aku mau begini. Melebih-lebihkan kata, merayu-rayu manja, tersenyum-senyum tak bersebab. Tak apa lah, hanya untuk Hanum. Kutelungkupkan kedua telapak tangan menutupi wajah. Aku malu, sebab bulan ikut tersenyum melihatku.

Tiga hari berlalu aku sengaja menemui Hanum di kelasnya berkat saran sahabatku, Zafran. Beruntung sekali aku memiliki sahabat yang begitu murah hati macam dia. Berbagai saran serta wejangan soal cinta ala Zafran berterbangan di kepalaku, termasuk ide untuk menyatakan cinta pada Hanum.

"Laki-laki itu harus gentle, Zen. Jangan sampai kau jadi kebanci-bancian hanya lantaran cinta. Apalagi sampai gila karena terus memendamnya. Cinta bertepuk sebelah tangan itu memanglah pahit, tapi lebih pahit lagi kalau kau punya perasaan tapi takut untuk mengungkapkannya."

Begitulah kira-kira kalimat ajaib yang terlontar dari bibir tipis Zafran. Aku terpana, bagaimana mungkin seorang bawahan melaksanakan perintah yang bosnya sendiri pun tak mampu melakukannya? Sejak baru masuk SMA, Zafran tertambat hatinya pada Zahra, gadis cantik berwatak keras dari kelas sebelah. Nyatanya, sampai kalimat ajaib itu terucap seakan tanpa sengaja, Zafran belum pernah sekali pun berani sekedar menyapa Zahra. Zafran menerawang kata-katanya sendiri.

Aku berdiri tegap dan mantap di ambang pintu kelas XII IPA3. Tak kuduga fansku begitu banyak di kelas jurusan IPA level tiga itu. Mataku mengaduk-aduk seisi kelas. Beberapa gadis yang tadi asyik-masyuk menyantap siomay tiba-tiba berdiri histeris seakan aku ini salah seorang personil Boy Band Korea favorit mereka, seorang gadis yang tengah bergincu tipis-tipis di pojok kelas tak berkedip melihatku, -dia tak sadar bahwa gincunya telah sampai pipi, cowok-cowok menatapku bosan, seakan mereka sudah tahu kapan kiamat akan terjadi, dan seorang gadis yang sedang duduk menikmati novel Sir Arthur Conan Doyle di deret ketiga bangku nomor dua dari depan hanya melirikku sebentar kemudian pura-pura tak melihat apapun. Aku menghampirinya, semakin riuh isi kelas itu. Aku pura-pura tidak mendengar dan melihat apapun juga. Yang kulihat hanya dia, Hanum yang rupanya gemar hal-hal berbau misteri.

Ketika kucoba duduk di kursi kosong di sebelahnya, dia coba menghindar dariku dengan menggeser kursinya menjauh. Sambil terus berpura-pura fokus pada novelnya, tanpa menoleh sedikit pun aku di buatnya kaget karena tiba-tiba dia bersuara, tepat saat aku akan membuka mulut untuk mengatakan "aku".

"Mau apa?" tanyanya.

"Mau mengajakmu jalan malam minggu nanti." Dia tampak sedikit terkejut kemudian membuka halaman novel selanjutnya. Kalau boleh di bilang, sebenarnya aku lebih terkejut lagi, sebab kalimat tadi terucap seiring keringnya tenggorokanku karena menahan grogi. Aku berdehem sambil pura-pura membetulkan dasi. Kupejamkan mata rapat-rapat sebentar, lalu buang napas selirih mungkin.

"Maaf, wanita muslim dilarang pergi berduaan dengan lelaki yang tidak ada mahram dengannya." Suaranya tenang namun mencemaskan.

Lihat selengkapnya