Desa Lingga Jati, sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan kebun tebu sejauh mata memandang. Udara di pagi hari selalu sejuk, namun getirnya kehidupan tetap terasa menusuk bagi mereka yang lahir dari keluarga sederhana. Salah satunya adalah Arum, seorang gadis yatim piatu yang hidup bersama neneknya, Mbok Sarmi, di sebuah rumah panggung kecil yang hampir roboh.
Sejak usia sepuluh tahun, Arum sudah terbiasa bekerja keras. Ia membantu neneknya menanam dan memanen tebu di perkebunan milik keluarga Juragan Darmo, penguasa terbesar di desa itu. Juragan Darmo dikenal sebagai pria kaya raya, pemilik pabrik penggilingan tebu, dan mempunyai lahan yang hampir menguasai seluruh desa. Ia tinggal bersama istrinya, Nyai Ratningsih, di rumah besar yang megah di atas bukit.
Kehidupan Arum begitu jauh berbeda dari keluarga sang juragan. Ia terbiasa makan dengan lauk seadanya, bekerja dari pagi hingga sore dengan bayaran yang nyaris tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun Arum tidak pernah mengeluh. Ia menerima takdirnya dengan tabah dan tetap tersenyum pada hidup yang keras.
Suatu pagi, seperti biasa Arum pergi ke kebun tebu dengan membawa sabit dan keranjang. Langkahnya cepat dan teratur, membelah barisan batang tebu yang menjulang. Tangan-tangannya terampil, seolah sudah menyatu dengan pekerjaan berat itu.
Di sisi lain kebun, seorang pria tampak mengamati Arum dari kejauhan. Ia adalah Bayu, putra semata wayang Juragan Darmo. Bayu baru saja kembali dari kota setelah menempuh pendidikan tinggi. Meski ia berasal dari keluarga terpandang, Bayu tidak sombong. Ia kerap berjalan-jalan mengelilingi perkebunan untuk mengamati langsung kondisi pekerja di lapangan.
Saat itu, tanpa sengaja pandangan Bayu tertuju pada sosok Arum yang tengah bekerja. Gerakan gadis itu cekatan namun tetap lembut, wajahnya penuh keseriusan meski keringat mengalir deras di pelipisnya. Ada sesuatu dalam diri Arum yang menarik perhatian Bayu.
"Siapa gadis itu?" tanya Bayu pada salah satu mandor kebun yang kebetulan lewat.
"Oh, itu Arum, Tuan Muda. Dia cucu Mbok Sarmi yang tinggal di pinggir hutan sana. Ia sudah lama bekerja di sini. Orangnya rajin, meski hidupnya serba kekurangan."
Bayu mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada Arum. Entah mengapa hatinya tertarik untuk mengenal gadis itu lebih jauh.
Beberapa hari kemudian, Bayu sengaja kembali ke kebun pada jam yang sama, berharap dapat bertemu dengan Arum. Saat itu, Arum tengah memanggul ikatan batang tebu yang berat.
"Boleh aku membantu?" suara Bayu membuat Arum menoleh kaget.
Arum buru-buru menunduk, merasa tidak pantas disapa oleh anak majikannya sendiri. "Maaf, Tuan. Saya bisa mengangkatnya sendiri."
Bayu tersenyum hangat. "Jangan panggil aku Tuan. Namaku Bayu. Aku hanya ingin membantu."
"Tapi... saya..."
"Tidak apa-apa. Aku juga ingin belajar bagaimana rasanya bekerja di kebun."