Malam semakin larut, namun Bayu tetap terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, menatap cincin Arum yang kini berada dalam genggamannya. Sejak ia menemukan cincin itu di tepi sungai, pikirannya semakin gelisah. Setiap malam, mimpi yang sama selalu datang ,Arum berdiri di tengah kabut, memanggil namanya dengan suara lirih, sambil menunjuk ke arah yang sama.
"Bayu... Tolong aku... Temukan aku..."
Bayu terbangun dengan napas memburu. Setiap kali ia mencoba mengejar Arum dalam mimpi itu, sosok Arum selalu menghilang, menyisakan kesedihan yang menusuk.
Keesokan harinya, Bayu memutuskan untuk kembali ke sungai. Ia menelusuri setiap jengkal tanah di sepanjang aliran air, berharap menemukan bukti yang lebih kuat. Tak jauh dari tempat ia menemukan cincin Arum, ia menemukan potongan kain terbakar yang ia kenali sebagai milik Arum.
"Arum... Aku janji akan menemukan kebenaran," bisiknya sambil mengepalkan kain itu erat-erat.
Bayu membawa potongan kain itu ke kepala desa. Mereka sepakat untuk menyelidiki lebih dalam, namun kepala desa memperingatkan Bayu untuk berhati-hati.
"Kau menghadapi keluarga yang kuat, Bayu. Langkahmu harus cermat. Kebenaran akan kau temukan, tapi pastikan kau tidak membahayakan dirimu sendiri."
Bayu mengangguk. "Aku tidak peduli pada bahaya. Aku hanya ingin kebenaran untuk Arum."
Sementara itu, gangguan mulai menghantui orang-orang yang terlibat dalam tragedi Arum.
Pak Narto, yang selama ini terlihat tenang, mulai mengalami kejadian aneh. Suatu malam, ia terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu rumahnya. Saat ia membuka pintu, tidak ada siapa pun.
Namun ketika ia menoleh ke lantai, ia melihat jejak kaki basah mengarah ke dalam rumahnya.
"Siapa di sana?!" serunya panik.
Tidak ada jawaban. Ia mengikuti jejak kaki itu hingga ke kamarnya. Saat ia masuk, lampu tiba-tiba padam. Ia merasakan hawa dingin menusuk kulitnya.
Dalam gelap, ia mendengar bisikan lirih.
"Kau akan menanggung akibatnya... Kau akan menerima balasan..."
Pak Narto berteriak ketakutan. Ia menyalakan lampu, namun tak menemukan siapa pun. Namun di atas mejanya, tergeletak sebuah benda yang membuatnya membeku sebuah pita rambut yang pernah ia lihat dikenakan oleh Arum.
"Tidak mungkin... Ini... Ini milik dia..." desisnya dengan wajah pucat.
Ia mulai dihantui rasa bersalah yang semakin menumpuk. Setiap malam, ia mendengar suara pintu diketuk, bayangan perempuan berambut panjang berdiri di sudut rumahnya, dan bisikan lirih yang memanggil namanya.
"Narto... Narto..."
Ia mencoba melaporkan kejadian itu kepada Pak Sardi.