Bayu menatap bukti yang kini tersimpan rapi di dalam kantong kecil cincin Arum, potongan kain hangus, dan abu yang ia temukan di gudang tua. Semua itu adalah petunjuk kuat yang mengarah pada tragedi yang selama ini berusaha disembunyikan. Bayu tahu, langkah berikutnya adalah membawa semua ini ke kepala desa agar dapat dilakukan penyelidikan resmi.
Keesokan harinya, Bayu mendatangi balai desa. Ia membawa semua bukti yang telah ia kumpulkan selama beberapa pekan terakhir.
"Kepala desa, ini adalah bukti yang saya temukan. Saya yakin ini milik Arum. Gudang tempat saya menemukannya adalah gudang lama yang sudah jarang dipakai. Dan saya... saya punya keyakinan kuat bahwa tragedi yang menimpa Arum berhubungan dengan keluarga saya sendiri."
Kepala desa menatap Bayu dengan serius. Ia memeriksa barang-barang itu dengan saksama. "Bayu, bukti ini memang kuat. Tapi kita harus berhati-hati. Menuduh keluargamu tanpa penyelidikan yang tepat bisa berbahaya."
"Saya sudah siap dengan segala risikonya, Kepala Desa. Saya tidak akan mundur."
Kepala desa mengangguk. "Baiklah. Kita akan mulai penyelidikan rahasia. Aku akan meminta bantuan beberapa aparat desa yang bisa dipercaya. Tapi kau harus tahu, ini mungkin akan membuat keluargamu terpojok."
"Saya sudah tidak peduli lagi. Mereka adalah keluarga yang telah mengkhianati saya dan membunuh Arum. Saya akan menuntut keadilan."
Sementara itu, teror yang menimpa keluarga Juragan Darmo semakin menguat. Pak Sardi, yang kini hidup dalam ketakutan, mulai kehilangan akal sehat. Ia sering berbicara sendiri dan enggan keluar rumah.
Setiap malam, ia melihat bayangan Arum di sekitar rumahnya. Sosok perempuan itu selalu muncul dalam wujud yang menakutkan ,berdarah, berwajah rusak, dan tatapan matanya penuh dendam.
"Aku di sini... Aku belum pergi... Aku melihatmu..."
Pak Sardi berteriak histeris, melemparkan barang-barang ke arah bayangan itu, namun sosok itu tidak pernah hilang dari pikirannya.
Nyai Ratningsih, yang semakin memburuk kesehatannya, mulai kehilangan kesadaran akan kenyataan. Ia mengurung diri di kamar dan menolak makan. Pelayan rumah melihatnya sering berbicara dengan cermin, seolah tengah berbincang dengan seseorang.
"Maafkan aku... Jangan ganggu aku... Jangan..."
Juragan Darmo, yang selama ini bersikap tegar, mulai mengalami gangguan yang tak bisa ia abaikan lagi. Setiap malam, suara langkah kaki terdengar di lorong-lorong rumah. Benda-benda bergerak sendiri, lampu-lampu padam tanpa sebab.
Suatu malam, saat ia duduk di ruang kerjanya, pintu perlahan terbuka. Bayangan perempuan melintas cepat di cermin di hadapannya.
"Kembalikan aku..."
Juragan Darmo berusaha menenangkan dirinya. "Ini hanya permainan pikiran. Aku tidak akan takut. Aku sudah menyingkirkan semua bukti. Tidak akan ada yang menemukan jejaknya."