Nyai Ratningsih semakin terjebak dalam penderitaan yang perlahan-lahan melahap tubuh dan jiwanya. Seminggu terakhir, ia tidak pernah tidur dengan tenang. Matanya yang dulu tajam kini cekung dan dikelilingi lingkaran hitam, bibirnya kering, dan tubuhnya melemah dari hari ke hari.
Setiap malam, sosok Arum yang mengerikan semakin nyata di hadapannya.
Di dalam kamarnya, yang dulunya menjadi tempat istirahat paling nyaman, kini terasa seperti ruang penyiksaan. Suara isakan lirih selalu terdengar dari sudut ruangan, meski para pelayan memastikan tidak ada siapa pun di sana.
Nyai Ratningsih sering terbangun karena mendengar suara langkah kaki pelan, seperti kaki yang telanjang menapaki lantai kayu. Langkah itu mendekat perlahan, kemudian berhenti tepat di sisi ranjangnya.
Saat ia membuka mata, ia melihat sosok Arum berdiri di sampingnya. Wajah Arum menghitam, kulitnya mengelupas, dan mata kosongnya menatap lurus ke arah Nyai Ratningsih.
"Kembalikan aku... Kembalikan aku..." suara itu bergetar, seperti keluar dari kerongkongan yang rusak.
Nyai Ratningsih menjerit, berusaha menyingkirkan bayangan itu, namun setiap ia mengedipkan mata, sosok Arum tetap ada di sana.
"Jangan... Jangan lagi... Pergi dari sini!"
Ia berlari keluar kamar, namun sepanjang lorong, bayangan Arum terus mengikutinya. Di setiap cermin rumah, Arum muncul dengan wajah yang semakin rusak, seakan menunjukkan sisa-sisa penderitaan yang ia alami.
"Aku belum pergi... Aku menunggumu..."
Nyai Ratningsih semakin tertekan. Ia mulai kehilangan kesadaran dan sering berbicara sendiri. Para pelayan rumah pun mulai ketakutan, tidak berani mendekatinya.
Beberapa pelayan bahkan mengundurkan diri karena sering mendengar suara tangisan dan bisikan dari kamar Nyai Ratningsih, meski pintunya terkunci rapat.
"Setiap malam kami dengar langkah kaki, tapi tidak ada siapa pun di lorong. Kami sering melihat cermin berkabut dengan tulisan yang tiba-tiba muncul sendiri..." bisik salah seorang pelayan kepada Bayu.
Bayu yang mendengar kabar itu semakin yakin bahwa arwah Arum tidak akan berhenti sebelum kebenaran terungkap sepenuhnya.
Juragan Darmo, yang selama ini menyangkal, mulai kehilangan ketegaran. Ia menyaksikan sendiri bagaimana istrinya perlahan-lahan tersiksa oleh bayangan yang tak kasat mata.