Train to Krakow & Other Stories

Noura Publishing
Chapter #1

OUR ANGEL Malaikat Kami

Abu Dhabi, Uni Emirat Arab; Kabul, Afganistan, saat ini Masjid Sheikh Zayed yang megah dan putih bersih di Abu Dhabi itu terpampang elegan dilatari langit biru jernih. Di dalamnya, salat Zuhur telah berakhir. Fazal Karim, seorang sopir taksi Afganistan berusia lima puluh tiga tahun, se­perti biasa mengamati kemewahan di sekelilingnya. Pertama-tama, tekstur rumit karpet indah di ruang doa. Ketika bersantai di dalam tempat suci yang menakjubkan itu, dia merasa bersemangat dan secara spiritual siap untuk giliran menyetir hariannya selama dua belas jam, mengantarkan penumpang ke sekitar kota Abu Dhabi dan tempat lainnya.

Di luar, di pekarangan utama, dengan takjub matanya men­jelajahi pilar-pilar pualam tinggi dengan ukiran bertatahkan per­mata, pola daun emas, dan desain kaligrafi Arab.

Dia sedang menyelipkan kaki ke dalam sandal kulitnya ketika ponsel mulai bergetar di dalam saku kurtha1 putihnya, yang dikenakannya di luar celana panjang longgar tradisional Afganistan. Ketika melihat nomor telepon Kabul, denyut jantung Fazal Karim semakin cepat, pikiran pertamanya adalah ibunya yang sedang sakit. Istrinya jarang menelepon, dengan setia menghormati tradisi kepatuhan istri dalam mengikuti perintahnya untuk menunggu telepon darinya dua kali seminggu.

Bertekad untuk tidak memboroskan uang atau waktu, Gulchara, istrinya yang berusia empat puluh enam tahun, meng­abai­kan sapaan dan langsung bicara, bersemangat menyampaikan kabar terakhir keluarga, dan terengah-engah gembira ketika me­nyebutkan permintaan khususnya.

“Babajaan2 Noorie, harap pulang ke rumah!” Gulchara tidak pernah memanggil suaminya dengan nama langsung, terutama di hadapan orang lain. “Kumohon, jangan menunda pernikahan Noorie setahun lagi. Akan runyam jika itu kita lakukan.” Dia berhenti sampai di sana, mengkhawatirkan jawaban suaminya.

Fazal Karim mengejang, mata biru kelabunya tampak dingin di wajah kecokelatannya yang terbakar matahari. Dia benar-benar tidak senang dengan permintaan pada awal pagi ini; kini, dia akan memikirkan masalah ini sepanjang hari. Namun, ka­rena sangat memahami beban istrinya dalam menjalankan ru­mah tangga mereka sendirian di Kabul, dia melunakkan nada suara, membenarkan bahwa istrinya punya alasan kuat untuk meneleponnya.

“Tapi kau tahu, Sayangku, bahwa aku perlu waktu setidaknya enam bulan lagi di sini agar mendapatkan cukup uang untuk biaya perhiasan emas Noorie.”

“Kalau begitu akan terlambat!” Gulchara meraung di ujung lain telepon, gambaran nyata anak perempuannya yang menangis dan dicampakkan melintas di depan matanya.

“Apa maksudmu?” tanya Fazal Karim, yang ingin sekali me­meluk istrinya dan menghujani wajah perempuan itu dengan ciuman.

“Penyihir Qadsia itu menawarkan anak perempuannya, Laila, untuk menjadi menantu keluarga Mustafa. Kau tahu seperti apa dia … dia sama sekali tidak punya akhlak dan kesopanan. Ini kesempatan baginya untuk memanfaatkan kelemahan kita—ketidakhadiranmu di rumah. Aku diberi tahu oleh gadis pelayan Mustafa bahwa Qadsia mengunjungi rumah mereka secara teratur bersama anak perempuannya—dan selalu pada malam hari. Bisa kau tebak alasannya? Hanya karena calon menantu laki-laki kita berada di rumah pada jam-jam itu. Dan, gadis pelayan mereka yang suka menggosip itu bercerita lebih lanjut bahwa Laila se­lalu mengenakan pakaian glamor, mata hijau kobranya digaris sempurna dengan kohl hitam untuk membuatnya tampak lebih besar lagi. Dasar perempuan-perempuan licik! Ibu dan anak sama-sama tidak punya malu. Bayangkan memamerkan anak perem­puanmu di hadapan para lelaki asing!”

Setelah jeda sejenak untuk mengusap mata, Gulchara melan­jutkan, “Tak peduli kita suka atau tidak, semua orang mengatakan bahwa Laila, anak perempuan Qadsia, juga sangat cantik, dan masih sekolah seperti Noorie kita.”

Keheningan di ujung lain membuat Gulchara bertanya-tanya apakah sambungan teleponnya telah diputuskan atau apakah dia terlalu banyak mengoceh. “Halo?” katanya bimbang.

“Gulchara.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Fazal Karim yang malang. Dia benar-benar kewalahan menghadapi kri­sis domestik sepagi ini di lingkungan tenang masjid. Namun, se­suatu harus dikatakan. Dan, dia mengatakannya dengan berat, karena tahu dirinya akan mengecewakan istrinya.

“Kehendak Allah yang akan terjadi. Aku sedang berupaya se­mam­puku, Sayangku,” katanya, mengingatkan dengan sedih. Dialah yang, karena alasan ekonomi, terkucil dari rumah dan keluarganya. Setidaknya, Gulchara tidur di ranjang mereka dan menikmati kehadiran anak-anak mereka.

“Dan, kini aku harus pergi,” katanya. “Aku harus menjemput seorang lelaki Inggris dari bandara dan mengantarkannya ke pengeboran minyak, Gulchara. Harap cium Ibu untuk mewa­ki­liku. Wasalam.”

Gulchara nyaris tidak punya waktu untuk mengucapkan salam perpisahan kepada suaminya; sambungan telepon sudah terputus di tangannya. Dia menghimpun pikiran, berupaya keras untuk menghapus ekspresi di wajahnya, sebelum berbalik menghadap anak perempuannya yang mondar-mandir dengan cemas di bela­kangnya. Noorie-lah yang mendesaknya untuk menelepon pagi ini.

“Apa kata Babajaan?” tanya gadis itu.

“Ayahmu berjanji untuk segera pulang ke rumah,” jawab Gulchara, berbohong, bertekad untuk mengenyahkan ekspresi khawatir dari wajah Noorie. Dan, dia berhasil. Kata-kata selan­jutnya membuat senyum ceria muncul di antara dua lesung pipit di pipi anak perempuannya itu.

“Ayahmu mengatakan akan kembali tiga bulan lagi.” Biasa­nya, Gulchara tidak berbohong, tetapi dia benci membiarkan Noorie-nya yang malang mengkhawatirkan kemungkinan dicam­pak­kan oleh keluarga tunangannya persis sebelum tes mengajar terakhirnya.

Noorie memiliki dua tujuan penting dalam hidupnya: menye­lesaikan kursus mengajar dan menikah dengan tunangannya, Ashar, yang dipujanya sejak kecil—kerabat jauhnya yang tampan dan memikat. Ashar sendiri telah dengan sabar menunggu hingga Noorie berusia delapan belas, sebelum keluarganya bisa meminang gadis itu secara resmi. Fakta bahwa ayah Noorie bekerja di luar negeri memudahkan mereka. Mempelai perempuan dari keluarga yang kepala rumah tangganya bekerja di luar negeri sangat diin­car untuk perjodohan, karena dianggap berasal dari keluarga lebih kaya dan dengan prospek bermigrasi ke luar negeri. Pesta per­ni­kahan megah dan hadiah-hadiah mewah juga dijamin.

Ketika Noorie berusia sembilan belas tahun, keluarga Ashar ingin menyelesaikan semua persiapan pernikahan. Namun, orang­tua gadis itu bersikeras agar mereka menunggu hingga Noorie berusia setidaknya dua puluh dan telah menyelesaikan kursus mengajarnya. Keluarga Noorie merahasiakan bahwa mereka se­be­narnya mengulur waktu agar ayah Noorie bisa mendapat cukup uang dari pekerjaannya di Abu Dhabi untuk pernikahan itu. Dengan enggan, keluarga calon mempelai laki-laki setuju un­tuk menunggu setahun lagi.

Namun, yang tidak diprediksi oleh semua orang adalah si­fat licik Qadsia, dan rencana jahatnya untuk menikahkan anak perempuannya dan Ashar dengan memutuskan ikatan di antara kedua keluarga itu. Mula-mula, keluarga pemuda itu merasa geli dengan upaya terang-terangan Qadsia dalam merayu mereka. Lalu, mereka mulai menanggapi tawaran ngotot perempuan itu dengan serius, terutama setelah Qadsia mulai menyombongkan tawaran kakak laki-laki tertuanya untuk mensponsori keluarganya agar bisa ikut ke Amerika.

Dengan cerdik, Qadsia menyulut rasa lapar dalam diri mereka untuk mendapatkan Green Card3 Amerika, yang akan memung­kinkan anak laki-laki mereka bermigrasi ke negeri berkelimpahan dengan standar hidup yang jauh lebih tinggi, tempat uang bisa didapat. Sebagai anggota dari keluarga itu, rumah anak laki-laki mereka akan berada di New Jersey, jauh dari Kabul yang dikoyak perang dan Taliban.

Politik keluarga, kerakusan manusia, dan persaingan perem­puan telah memasukkan iblis baru ke dalam kehidupan keluarga Fazal Karim. Qadsia, seorang kerabat jahat, secara agresif men­desakkan jalannya ke dalam hidup tunangan Noorie, dengan tujuan utama menikahkan anak perempuannya dengan pria itu. Selain itu, Qadsia tidak diam-diam dalam upayanya. Sebaliknya, karena sangat ahli membumbui fakta, dia telah mengejek saingan-saingannya secara terang-terangan.

“Seperti yang diketahui semua orang, kemungkinan besar Fazal Karim tidak akan kembali setidaknya setahun lagi atau, seperti yang didesas-desuskan, mungkin dua tahun lagi. Bisakah ka­lian, kerabat-kerabat tercintaku, menunggu selama itu? Pikir­kanlah! Ashar kalian yang malang itu sudah berusia dua puluh enam. Sebagian besar temannya sudah lama menikah dan aku yakin saat ini beberapa sudah punya dua atau tiga anak. Bagai­mana dengan anak laki-laki kalian—haruskah anak laki-laki yang malang itu terus menunggu?”

Sudah menjadi fakta yang diketahui secara umum bahwa ke­luarga Qadsia bisa menikahkan anak perempuan mereka da­lam hitungan minggu, dengan kemegahan dan upacara. Selain itu, Laila sangat cantik, dengan tubuh jangkung dan anggun yang dipamerkannya dalam banyak pakaian bergaya.

“Bagaimana mungkin Noorie yang bertampang biasa-biasa saja itu bersaing dengan Laila-ku?” bisik Qadsia dengan keji ke­pada kroni-kroninya.

Tentu saja salah seorang kroni menyampaikan kata-kata itu dengan sama kejinya kepada Gulchara, membuat perempuan itu dilanda kepanikan. Setelah menyiapkan halwa yang terbuat dari tepung semolina4 untuk sarapan ibu mertuanya dan membilas rambut bercat henna5 perempuan tua itu di dalam bak alumunium, Gulchara langsung menuju gudang seprai di ruang bawah tanah rumah mereka. Di sana, sambil duduk di kursi di pojok yang sepi, dia menelepon suaminya. Karena ingin mendengarkan perca­kapan itu, Noorie membuntuti ibunya.

Setelah Noorie berangkat kuliah, Gulchara mondar-mandir dengan lesu di seputar rumah. Dengan hati berat, dia memulai pe­­kerjaan hariannya: mengangin-anginkan selimut, menyapu ko­toran dari lantai, menggosok panci sup, dan memotong-motong sayuran untuk makan siang.

Akankah Noorie-ku berhasil menjadi mempelai perempuan Ashar? pikir Gulchara, merasa berkecil hati ketika membungkuk di atas panci sayuran yang mendidih. Hanya Tuhan yang tahu kapan suaminya akan pulang ke rumah.

Dia mulai menangis dengan getir, membenci proses migrasi yang merampas suaminya dari hidup mereka. Denting lonceng ibu mertuanya mengejutkannya, membuatnya mengusap mata dan bergegas melintasi beranda, lalu memasuki kamar yang di­tem­pati Noorie bersama neneknya.

Sambil mendesah, secara filosofis Gulchara pasrah menerima bahwa kehidupan harus berlanjut. Masih banyak tugas yang ha­rus diselesaikan, juga perawatan terus-menerus ibu mertuanya yang menderita diabetes dan terserang sakit kepala.

Di seberang Laut Arab, di bandara di Abu Dhabi, Nigel—ahli geo­logi Inggris berusia lima puluh satu tahun dari timur laut Inggris—bergabung dengan antrean imigrasi untuk penumpang internasional. Setelah mengambil kopernya, dia menunggu dua lelaki lain yang bekerja di perusahaan minyak yang sama untuk bergabung dengannya. Seorang berasal dari Amerika dan seorang lagi dari Italia. Fazal Karim, dengan taksi besarnya, telah diutus untuk menjemput mereka.

Seorang pekerja Tamil yang membawa plakat bertuliskan na­ma Nigel menyapa ahli geologi Inggris itu, diikuti oleh dua lelaki berusia akhir tiga puluhan yang mengenakan pakaian Eropa. Dengan sopan, Nigel berjabat tangan dengan rekan-rekan kerja­nya, sambil menyapa mereka dalam bahasa Inggris dan meng­ucap­kan ‘Namaste’ kepada para pekerja Tamil itu. Mereka dian­tarkan ke taksi. Di sana, Fazal Karim, yang mengenakan se­telan shalwar dan kurtha Afganistan tradisional, memasukkan koper mereka ke mobil. Terintimidasi oleh dua orang Eropa berse­te­lan rapi dan suara lantang orang Amerika itu, dia menghindari kontak mata dengan mereka.

Setelah meninggalkan kota Abu Dhabi, mereka segera me­nem­­puh perjalanan menuju kilang minyak. Nigel memandang po­­hon-pohon palem tinggi di luar jendela, komentar terakhir pa­sangannya, Judith, masih menyengat telinganya.

“Kalau kau pergi lagi, maka jangan terkejut kalau aku dan Tommy tidak ada di sini ketika kau kembali.” Tommy adalah anak laki-laki Judith dari hubungan sebelumnya.

Apakah perempuan itu bersungguh-sungguh dengan ucapan­nya? Komentar semi-menggoda dan mengancam itu telah meng­ikuti perjalanan Nigel ke Uni Emirat dalam rangka menyelesaikan kon­trak enam bulannya di pengeboran minyak, untuk pekerjaan menganalisis lumpur, memeriksa batu vulkanik, dan memantau gas. Akan ada periode singkat melakukan pekerjaan serupa di Siprus juga. Dia bertanya-tanya apakah Judith mau bergabung di sana, karena Siprus adalah sebuah negara Eropa.

Judith tidak senang dengan kepergian Nigel selama berbulan-bulan, karena keluarga tidak diharapkan untuk mendampingi para pekerja. Mereka sama-sama tidak menyukai perpisahan yang tak terhindarkan. Selain itu, kehidupan di Timur Tengah tidak menarik bagi Judith. Nigel mengenal banyak teman yang istri atau keluarga mereka pindah dan tinggal di Dubai atau terbang untuk bergabung dengan suami mereka dan menghabiskan akhir pekan singkat. Mereka benar-benar menikmati apa yang ditawarkan oleh Uni Emirat kepada mereka, dengan banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk safari gurun pasir dan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan ramai. Namun, Judith tidak.

Fazal Karim mencuri pandang ke arah penumpang-penum­pang­nya lewat kaca spion. Pandangannya bertemu dengan tatapan angkuh orang Amerika itu, dan dia langsung mengalihkan mata. Kulit wajah Fazal Karim yang dulunya cerah, dan kini kecokelatan terbakar matahari panas Uni Emirat, menjadi semakin gelap ka­rena malu.

Si orang Italia memandang lelaki Nepal tua yang sedang me­nyi­rami tanaman di pinggir jalan di luar jendela. Nigel, yang duduk di depan, mengagumi daun-daun palem besar yang bergoyang-goyang diembus angin sepoi-sepoi lembut. Di balik pohon-pohon palem itu, dia bisa melihat bukit-bukit pasir. Tujuan mereka—pengeboran minyak—masih jauh.

Mendadak, mobil mulai bergetar, memaksa para penum­pang­nya untuk menoleh memandang sopir. Fazal Karim yang malang mulai panik, tapi untungnya mesin mobil kembali berjalan lancar. Fazal Karim berjanji kepada diri sendiri bahwa, jika mereka ber­hasil mencapai tujuan dengan selamat, dia akan memanjatkan salat sunah sepuluh rakaat malam nanti. Kecemasannya mele­nyap­kan nafsu makannya, dan dia sama sekali lupa mengenai hidangan yang disiapkan oleh teman-teman serumahnya malam nanti untuk ulang tahun teman serumah mereka yang beragama Hindu, Prem.

Dalam kegelapan pekat malam Uni Emirat yang sejuk, Nigel melangkah dengan berhati-hati di sekitar kompleks besar yang di­lengkapi gubuk-gubuk untuk para tukang dan pekerja dari Asia Selatan dan Timur Jauh itu. Dia sudah langsung tahu bahwa san­dal jepit favoritnya tidak memberikan perlindungan memadai terhadap ular gurun atau kalajengking hitam. Dua hari yang la­lu, dia melihat tiga pekerja migran Bengal membungkuk di atas ember berisi ular yang sedang tidur bergelung.

Seakan-akan membaca pikirannya, Fazal Karim menjulurkan tangan dengan malu kepada Nigel untuk menuntunnya dalam kegelapan.

“Terima kasih.” Orang Inggris itu menyambut tangan Fazal Karim dengan penuh syukur.

Mereka mencapai gubuk. Fazal Karim berdoa mati-matian agar dirinya tidak melihat tatapan malu teman-teman serumahnya dan agar mereka memiliki kesadaran untuk merapikan ruang utama gubuk sebelum membukakan pintu bagi tamu yang tak terduga. Itu keputusan spontan, mengundang ‘Sir Nigel yang baik’, begitulah dia menyebut lelaki itu dalam hati, ke pondoknya. Fazal Karim benar-benar menyukai Nigel setelah lelaki itu memberinya persenan yang sangat murah hati. Tanpa menyadari sepenuhnya implikasi tindakan spontannya, Fazal Karim mengundang Nigel untuk mencicipi kari bersamanya.

Ketukan pelannya di pintu tidak dijawab. Fazal Karim berha­rap mati-matian agar teman-temannya bisa memahami bahwa ketukan itu berarti ada orang lain yang sedang berdiri di balik pintu, karena mereka tahu dia punya kunci. Sayangnya, strategi itu tidak mengisyaratkan kepada teman-teman serumahnya bah­wa seorang lelaki Eropa kulit putih sedang berdiri di luar, hen­dak menghormati mereka dengan kehadirannya. Tidak ada kemung­kinan dilakukannya persiapan khusus atau pemberesan rumah secara kilat.

Fazal Karim senang sekali karena kegelapan malam menyem­bunyikan pipinya yang memerah. Kini, dia benar-benar menyesali dorongan hatinya untuk membawa tamu Eropa itu bersamanya dan membiarkan lelaki itu melangkah memasuki dunia sederhana mereka.

Dalam cahaya suram, pipi cokelat Prem juga merah padam ketika melihat wajah berkulit putih yang tersenyum di balik bahu Fazal Karim. Pandangannya terarah ke bawah ketika dia me­langkah mundur, membiarkan Nigel memasuki ruang utama mereka yang berfungsi sebagai ruang duduk sekaligus kamar tidur. Penghuni lain, seorang lelaki Pakistan berusia akhir tiga puluhan bernama Khalid, menjatuhkan kartu-kartu permainan ke lantai dan bangkit berdiri dari posisi berjongkoknya di atas karpet. Karena merasa terhina, pandangan mengecamnya terarah kepada Fazal Karim. Apa yang dipikirkannya, membawa Gora—orang kulit putih—ke dalam gubuk kumuh mereka dan tanpa pemberitahuan! Ini sangat tidak adil, terutama untuknya. Dengan hanya mengenakan rompi katun putih di atas shalwar Pakistan kusut, dia terutama tersinggung karena tepergok setengah te­lan­jang.

Dengan jengkel dan malu, dia mengungkapkan ketidak­se­nangan­nya dalam bahasa Urdu dan Hindi, dua bahasa Bollywood yang dipahami oleh mereka semua, yang berasal dari tiga negara berbeda: Afganistan, India, dan Pakistan. Kedua penghuni itu beragama Muslim, sedangkan yang seorang lagi Hindu—Prem dari Kerala.

“Jangan panik. Dia lelaki yang sangat ramah—dan dia hanya datang untuk mencicipi kari kita,” cepat-cepat Fazal Karim me­ya­kinkan kedua teman serumahnya. “Prem, bisakah kau mele­tak­kan wajan chapati6 ke atas kompor?” pintanya sambil tersenyum kepada Nigel, yang duduk dengan sopan di tengah ruangan, me­mandang dengan tidak nyaman.

Sambil mengangguk, Prem bergegas menuju ruang sebelah yang berfungsi sebagai dapur dan gudang, dengan koper-koper berisi pakaian mereka menumpuk di satu pojok. Dia kem­bali untuk menyalakan TV. Si lelaki Pakistan cepat-cepat mengum­pulkan piring-piring plastik oranye dan gelas-gelas berwarna se­nada yang tadi mereka gunakan untuk hidangan pesta ulang tahun Prem, lalu menyembunyikan kesemuanya itu di balik tiga kasur yang mendereti dinding dan digunakan sebagai ranjang pada malam hari. Ketika kasur-kasur itu digelar pada malam hari, hanya ada beberapa senti ruangan di antara mereka. Mereka harus melompati tubuh satu sama lain untuk keluar, baik untuk bekerja atau pergi ke gubuk lain di dekat situ, tempat mereka mandi dan berwudu.

Nigel duduk di sofa yang ditutupi kain putih, sangat me­nya­dari kedatangannya telah membuat teman-teman se­ru­mah Fazal Karim merasa tidak nyaman. Kini, dia menyesali tin­dak­an­nya melanggar privasi orang-orang itu, berharap dia tadi merenungkan tawarannya untuk mencicipi kari, sebelum me­ne­robos memasuki kehidupan mereka tanpa pemberitahuan.

Dengan sopan, dia tersenyum kepada orang Pakistan itu, dan mengenalinya sebagai pembuat chapati di kafe komunal untuk tukang-tukang dari Asia yang dilewatinya dalam perjalanan ke hotelnya. Pembuat chapati itu memiliki pekerjaan penting, me­masak dan memasok chapati sepanjang hari untuk tukang-tukang kelaparan yang tidak begitu menyukai roti lokal, terutama pada malam hari ketika mereka pulang dari giliran kerja panjang me­reka. Jadi, ketika menyangkut urusan memasak untuk mereka sen­diri pada malam hari, pembuat chapati itu menolak dengan tegas untuk berada di dekat kompor dapur.

Sambil tersenyum malu, lelaki muda bernama Prem itu ma­sih berkutat gugup dengan tombol-tombol remote TV, men­coba mencari Saluran BBC 24 agar tamu Inggris mereka bisa men­de­ngarkan berita dalam bahasa Inggris.

Ketika Fazal Karim kembali dengan membawa segelas jus jeruk, Prem menggumamkan kata, “Permisi,” lalu menghilang ke dapur. Teman serumahnya yang orang Pakistan, dengan kancing-kancing kemeja masih terbuka, membuntutinya, membiarkan Fazal Karim menjamu tamu mereka yang tidak diinginkan itu.

Ketika kedua orang tersebut sudah pergi, Nigel berubah santai. Fazal Karim menarik sebuah meja kopi kecil ke hadapannya, lalu duduk di kursi di samping sofa.

“Ceritakan tentang keluargamu.” Nigel benar-benar tertarik dengan latar belakang orang Afganistan itu. “Kau punya anak?”

“Ya, Sir. Empat! Dua anak perempuan dan dua anak laki-laki. Yang laki-laki besar dan yang perempuan satu tua dan satu muda.”

Nigel berupaya menahan tawa, sebelum membetulkan perka­taan Fazal Karim. “Kini anak perempuanmu sudah dewasa—seorang gadis, maksudmu.”

“Ya, dia—perempuan muda.”

“Berapa usianya?”

“Sembilan belas. A woman.”

“Ya, a woman. Bahasa Inggris-mu bagus, Fazal Karim. Kata­kan, dari mana kau mempelajarinya?”

“Aku dulu sopir untuk British Council. Madam dan Sir bicara bahasa Inggris. Aku belajar dari mereka. Bagus untuk pekerjaan taksi ini—mengantarkan orang-orang dari Eropa.”

“Bagus sekali!”

“Bahasa Arab-ku lebih baik,” gurau Fazal Karim.

“Tentu saja.”

“Ah, ini makanannya,” kata Fazal Karim ketika Prem mem­bawa masuk nampan makanan dengan malu-malu.

Selain nasi goreng sayuran, tersedia dua hidangan lain, yaitu kurma dan kari kembang kol, dengan dua chapati. Nigel merobek chapati dengan jemari dan mencelupkan sepotong ke da­lam mang­kuk kari untuk menyendok potongan-potongan da­ging. Fazal Karim menyaksikan bahwa mereka terang-terangan merasa kagum dan senang melihat lelaki itu menggunakan tangan dan jemarinya—sama seperti mereka.

Dengan mulut penuh, Nigel meyakinkannya dengan geli. “Ja­ngan khawatir, aku tahu cara menyantap kari dengan jema­riku. Lihat?” Mereka berdua tertawa.

Teman-teman serumah Fazal Karim, yang mengintip dari am­bang pintu dapur, berdiri di sana dengan wajah berseri-seri, menganggap sikap bersahaja ahli geologi Barat itu sangat me­nawan. Mereka senang melihat lelaki itu menjilati jemari sete­lahnya. Nigel, tamu istimewa mereka, menyeringai. Kini, ke­dua lelaki yang berdiri di pintu dapur itu merasa cukup percaya diri untuk bergabung dengan mereka di dalam ruangan.

“Teh?” Prem, orang Kerala dari Cochin di India, bertanya riang, merasa sangat puas karena chapati-nya disantap oleh babu7 kulit putih itu.

Nigel mengangguk ramah. Lalu, Prem menjadi cukup berani untuk bertanya, “Chai masala8, Sir?”

“Ya, boleh saja. Terima kasih. Tapi, harap panggil aku Nigel, Sobat.”

Ketiga lelaki itu ternganga, ekspresi tidak nyaman muncul di wajah mereka.

“Tidak bagus!” teriak Fazal Karim sambil mengernyit memi­kirkannya. “Kau ‘Sir’.”

Dan, Prem, yang berusia akhir dua puluhan, langsung menje­laskan, ingin menegaskan masalah budaya itu lebih lanjut, “Kau tua!” Lalu, dia tersipu-sipu ketika Nigel tertawa.

Yang ingin dijelaskan olehnya adalah, Nigel lebih tua dari­pada Prem, dan karenanya Prem tidak bisa menghina Nigel de­ngan memanggilnya menggunakan nama depan. Budaya peng­asuhan­nya tidak membolehkannya memanggil Nigel seperti itu. Hanya kata ‘Sir’ atau ‘Mr. Nigel’ yang boleh digunakan. Lalu, sambil kembali tersipu-sipu, Prem berpamitan dan, di pintu, dia memberi tahu Fazal Karim bahwa dirinya hendak pergi berjalan-jalan, lupa dengan teh masala yang tadi ditawarkannya.

Dalam bahasa mereka, Hindi, Prem menyarankan agar Khalid juga ikut, meninggalkan Fazal Karim dan tamu Inggris-nya sendirian. Orang Pakistan itu, yang sangat menyetujui saran Prem, meraih jaket bepergiannya, lalu keduanya menyelinap mema­suki malam gelap untuk berjalan-jalan panjang.

Sendirian bersama tamu Eropa-nya, Fazal Karim bertanya dengan malu-malu, “Nasi—lagi?”

Nigel mengangguk. Fazal Karim pergi ke dapur. Nigel me­mandang ke sekeliling ruangan sempit itu, lalu mengikuti Fazal Karim ke dalam area memasak. Fazal Karim bisa merasakan pipinya dijalari rasa panas, menyadari kehadiran Sir Nigel di bela­kangnya ketika dia sedang mencari garpu, satu-satunya gar­pu yang mereka miliki di dalam lemari. Mereka terbiasa meng­gunakan piring plastik dan makan dengan tangan. Sendok hanya digunakan untuk nasi. Dengan centong kayu, Fazal Karim me­nyendok sisa nasi goreng dari panci kecil.

“Nasinya perlu sedikit waktu agar panas, Sir,” gumamnya meminta maaf.

“Oh, tidak apa-apa.” Cepat-cepat Nigel meyakinkannya. Dia tidak melihat microwave di dapur. Mungkin mereka langsung ma­kan setelah memasak.

“Maaf, hanya ini yang kami miliki saat ini. Masakan kami sebagian besarnya sayuran. Hari ini, Prem berulang tahun—dia tidak makan daging. Kau suka domba, Sir Nigel … akan kuma­sakkan untukmu lain kali.” Fazal Karim mengharapkan Nigel untuk setuju bahwa domba adalah hidangan favoritnya.

“Kau bergiliran dengan teman-teman serumahmu?” tanya Nigel. Fazal Karim tampak bingung. Nigel mengubah pertanya­annya.

“Memasak? Kedua lelaki yang tinggal bersamamu—mereka juga memasak, Fazal Karim?”

“Ya, kami bergiliran. Kecuali Prem yang beragama Hindu—dia memasak sayuran. Terlalu banyak masalah menyangkut panci daging, yang tidak mau disentuhnya. Padahal kami suka daging, sama sepertimu. Prem membuat chapati. Ini … pancinya.” Fazal Karim tertawa gugup, bertanya-tanya mengapa dia bercerita me­ngenai Prem kepada orang asing ini. Dia ingat teman serumah mereka dulu yang beragama Hindu, Kishore. Betapa Fazal Karim merindukannya, tetapi pada akhirnya dia memahami alasan lelaki itu meninggalkan akomodasi mereka.

Lihat selengkapnya