Train to Krakow & Other Stories

Noura Publishing
Chapter #2

EVIL SHADOW

Bayang-Bayang Jahat

Punjab, Pakistan, tahun lalu

Robina Bibi14, istri pembuat kembang gula, baru saja menemui pir-nya—pembimbing spiritual—di desa sebelah. Dengan wajah berseri-seri bahagia, dia tidak sabar untuk mene­mui sabahatnya, Neelum, dan menceritakan kabar baik itu.

Dia turun dari bus di jalan utama G.T., lalu menempuh ja­lan setapak sempit berdebu dengan ladang kapas di satu sisi dan tanaman tebu di sisi lain. Persis di depannya, dia melihat salah seorang tetangganya, Zakia. Dia mempercepat langkah, me­mang­gil perempuan itu.

Zakia berhenti berjalan. “Assalamualaikum, Robina Bibi,” sapanya sambil tersenyum. “Apa kabar?”

“Alaikum salam, insya Allah, aku baik-baik saja. Dan, ke­luargamu?” tanya Robina.

“Kami semua baik-baik saja, masya Allah. Kau baru mengun­jungi keluargamu di kota?”

“Tidak. Aku baru berbelanja dan, sebelum itu, aku mengun­jungi pir-ku di desa sebelah.”

“Adakah hal khusus yang membuatmu mengunjungi pir-mu, Saudari Robina?”

“Ya.” Robina mengangkat keranjang belanja—tokerry—yang menggembung dan mengangkat tutupnya, memperlihatkan bola-bola benang wol biru halus di dalamnya.

“Untuk siapa itu—rajutannya, maksudku?” tanya temannya penasaran, sambil memandangnya penuh arti.

Robina tersenyum, wajahnya mengerut membentuk garis-ga­ris halus. Tak mampu menahan kegembiraan, dia berkata, “Kami telah diberkati, Saudari Zakia.”

Tetangganya itu langsung mengerti. Sudah umum diketahui di desa bahwa Robina ingin sekali memiliki cucu. Walaupun sudah lima tahun menikah, hingga kini anak laki-laki dan menantu perempuannya belum dikaruniai anak.

Robina mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah dan berterima kasih kepada-Nya. Temannya mengikuti.

“Aku ikut senang, Saudari Robina. Sudah hamil berapa bulan?”

“Oh, baru tiga bulan.”

“Kehamilannya baik-baik saja?”

“Sejauh ini ya. Aku telah mengirimnya ke kota untuk dipe­riksa oleh dokter khusus dan aku melarangnya melakukan peker­jaan yang berat secara fisik—dan tentu saja aku melarangnya mengunjungi rumah dengan “chilla”—perempuan lain yang me­la­hirkan—dan rumah tempat keguguran pernah terjadi. Pir-ku menyarankan untuk tidak mengizinkan menantu perempuanku memasuki rumah yang kemungkinan berisi perchanvah, Bayang-Bayang Jahat, dan untuk melindunginya dari kontak fisik dengan perempuan yang pernah keguguran dan yang perchanvah-nya bisa memengaruhi menantu perempuanku.”

“Oh, jangan khawatir, Saudari Robina, Faiza-mu adalah pe­rempuan muda yang sehat dan kau akan segera memiliki cucu laki-laki hebat.” Zakia memeluk erat temannya.

“Pir-ku mengatakan hal yang sama. Dia yakin Faiza-ku akan melahirkan anak laki-laki. Dan, aku memercayainya,” kata Robina sambil membalas pelukan temannya.

Kedua perempuan itu berjalan bersama-sama, asyik dalam per­cakapan mengenai anak-anak mereka, tetangga, pir, dan per­nikahan.

Di rumah Robina, pada saat itu, Faiza baru saja selesai mengepel lantai pekarangan tengah dan beranda yang tersusun dari keping-keping marmer. Pelayan mereka sudah membantu menyelesaikan sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Ibu mertuanya mela­rang­nya melakukan pekerjaan apa pun di rumah, selain memasak. Namun, hari ini Faiza memutuskan untuk mengepel lantai sendiri, terutama karena ibu mertuanya sedang tidak ada.

Ketika pintu luar yang menghadap beranda membuka, Faiza mendongak, berharap melihat ayah mertuanya kembali dari toko kembang gula mereka.

Salma berdiri canggung di ambang pintu, tidak tahu apakah dirinya akan disambut atau tidak. Dengan gugup, matanya mene­liti pekarangan untuk mengecek apakah ada orang lain di sana. Ketika melihat sahabatnya, mula-mula Faiza merasa khawatir, lalu ketika akal sehatnya menang, dia menyambut Salma dengan senyuman.

Salma membuat isyarat dengan tangannya untuk bertanya apakah ada orang lain di rumah. Faiza menggeleng, lalu memper­silakannya masuk, walaupun tetap saja merasa bersalah, seakan-akan dia sedang melakukan suatu kejahatan. Dengan khawatir, Salma melangkah maju, juga merasa bersalah, menyadari bahwa, dengan sejarah kegugurannya, dia tidak boleh mengunjungi te­mannya yang sedang hamil. Seandainya ibu mertua Faiza tahu atau melihatnya, akan muncul masalah besar!

Faiza bangkit dari lantai untuk menghampiri dan memeluk temannya. Ketika sudah setengah jalan melintasi pekarangan, san­dalnya menggelincir di lantai basah dan dia jatuh berdebuk ke permukaan keras lantai marmer. Dia terkejut dan berteriak kesakitan.

Dengan ketakutan, Salma bergegas menolong temannya, sam­bil bergumam, “Ya Allah. Kau baik-baik saja, Faiza?” Dia mem­bantu temannya duduk di atas dipan di beranda. “Astaga, seharusnya kau tidak bergerak secepat itu dalam kondisimu, ter­utama di atas lantai basah.”

“Ya, aku tahu.” Faiza mengerang kesakitan lagi. “Ibu mertua­ku selalu menyuruhku agar berhati-hati. Kupikir, mumpung hari ini dia sedang keluar, aku akan mengepel lantai sendiri. Entah kenapa, tapi rasanya aku ingin sekali melakukan pekerjaan ru­mah tangga.”

“Kau yakin kau baik-baik saja?”

“Aku hanya memar di sekitar paha. Sebentar lagi, aku akan merasa lebih baik. Apa kabar, Salma? Kau tahu kau tidak boleh berada di sini. Jika ibu mertuaku melihatmu, dia pasti marah—kau tahu itu.”

“Oh, Faiza. Kau tidak memercayai semua omong kosong itu, bukan? Itu takhayul. Aku sahabatmu dan aku tidak akan pernah berniat jahat terhadapmu. Bukan salahku kalau aku mengalami tiga kali keguguran. Semua omong kosong mengenai perchanvah itu adalah takhayul yang kita warisi dari zaman kuno. Itu tidak punya tempat di abad ke-21. Bagaimana mungkin seo­rang perempuan muda modern dan berpendidikan sepertimu me­mercayainya?”

“Aku tahu, tapi mustahil semua perempuan itu keliru. Mereka benar-benar memercayai semua takhayul itu. Tidak ada gunanya membantah atau mendebat mereka. Pir kami telah menyuapkan gagasan-gagasan yang sama kepada ibu mertuaku.”

“Tapi, itu tidak adil, Faiza. Bagaimana perasaanmu kalau kau berada di posisiku? Aku didiskriminasi dan dikambinghitam­kan. Kau tahu seperti apa rasanya, dijauhkan dari semua kontak dengan perempuan hamil? Aku diperlakukan seakan-akan aku adalah roh jahat. Mereka menganggap bayanganku saja bisa men­celakakan mereka. Kemarin, seorang perempuan hamil bah­kan menolak menyantap puding yang kusiapkan. Rasanya se­akan-akan perchanvah-ku telah menjangkiti puding itu. Bisa­kah kau memercayainya? Seluruh masalah ini konyol.” Dia men­desah sedih. “Bagaimana mungkin keguguran-keguguranku me­mengaruhi perempuan lain?”

“Entahlah, Salma. Mitos ini telah bertahan selama berabad-abad.”

“Itu tidak adil bagi perempuan yang pernah mengalami ke­guguran. Aku merasa seakan-akan diriku tidak bersih.” Salma mengusap air mata. “Aku tidak bisa menjelaskan kepadamu pen­deritaan yang kualami, bukan hanya karena kehilangan bayi-bayi tercintaku, tapi juga karena cara perempuan lain, seperti ibu mertuamu, memperlakukanku. Alih-alih menawarkan simpati, mereka menolakku.”

“Aku benar-benar ikut prihatin, Salma. Aku sama bersalahnya dengan ibu mertuaku. Bagaimanapun, sudah lebih dari dua bulan aku tidak melihatmu. Adakah sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku, sehingga kau menempuh risiko datang kemari?”

“Ya. Aku punya kabar baik …. Dua hari yang lalu, aku pergi ke Peshawar untuk menemui dokter perempuan, seorang gine­kolog. Dia mengatakan penyebab aku mengalami keguguran ada­lah karena aku punya semacam rahim yang longgar, sehingga sulit bagiku untuk menjalani kehamilan secara penuh. Dia menya­rankan pengobatan selama enam bulan. Setelah itu, segalanya akan baik-baik saja. Aku akan bisa menjalani kehamilan normal yang sehat.”

“Oh, aku senang sekali mendengarnya, Salma.” Sambil ber­kata begitu, cinta alami Faiza terhadap temannya membuatnya me­raih bahu perempuan muda itu dan memeluknya dengan hangat.

Persis pada saat itulah Robina Bibi memasuki rumahnya. Dia langsung terpaku ketika melihat menantu perempuannya ber­pelukan dengan gadis itu. Darah bergemuruh menjalari pem­bu­luh-pembuluhnya. Tokkery menggembung berisi benang wol itu jatuh dari tangannya. Dia begitu berang sehingga hanya ter­paku, memelototi dua sahabat itu.

Faiza melihat perempuan itu terlebih dahulu. Dengan wajah seputih seprai, dia tersentak menjauhi Salma. Dikejutkan oleh tindakan temannya, Salma juga memandang ke sekeliling, dan wajahnya memerah ketika melihat kemarahan yang menyo­rot keluar dari mata Robina dan tokerry yang jatuh itu, yang memuntahkan isinya ke lantai basah. Salma memahami kegen­tingan situasi itu dan kesulitan yang dihadapinya.

Haruskah aku meminta maaf? Tapi, untuk apa? pikirnya. Karena mengunjungi dan menyentuh sahabatku? Tapi, aku tidak melakukan kesalahan apa pun! Dia panik melihat ekspresi keta­kutan di wajah Robina, seakan-akan perempuan itu mengira dia hendak membunuh Faiza.

Dengan sangat tersinggung, dan tidak ingin mencicipi kema­rahan Robina, Salma menjauhi Faiza dan berjalan ke luar.

Robina tetap berdiri, menatap Faiza yang melangkah maju untuk memunguti bola-bola benang wol itu dari lantai. Ketika melihat benang wol biru itu, Robina memecah keheningan.

“Gadis itu mengincar kita! Sudah berapa kali kukatakan, Faiza, agar kau tidak berhubungan dengannya. Kini, Salma telah melepaskan perchanvah dari keguguran terakhirnya ke dalam rumah kita. Bagaimana mungkin kau bisa begitu tolol? Tidakkah kau peduli terhadap bayimu? Kalaupun kau tidak peduli, kami peduli. Kami sangat menginginkan bayi ini.”

“Tentu saja aku peduli, Bibi. Tapi, aku tidak bisa menyuruhnya pergi dari sini. Itu keji dan tidak berperikemanusiaan. Sudah dua bulan dia tidak kemari. Dan, dia sahabatku,” jawab Faiza kesal.

“Aku tidak peduli apakah dia sahabatmu atau bukan.” Robina langsung menyela. “Persahabatan tidak diperhitungkan. Yang penting adalah kesehatanmu, dasar perempuan konyol! Sampai kau melahirkan, aku ingin kau tidak berhubungan de­ngannya, atau perempuan lain mana pun dengan perchanvah. Kalau kau tidak peduli terhadap anakmu, setidaknya pertimbangkan ke­inginan kami. Aku ingin cucu laki-laki. Pir kita mengatakan kau akan punya anak laki-laki. Bagaimana menurutmu?”

Pipi Faiza berkilau senang. Secara tradisional, anak laki-laki selalu disambut. Akan menjadi kehormatan besar untuk mela­hirkan anak laki-laki terlebih dahulu.

“Kini, setelah kita mendapat perchanvah Salma di dalam rumah, aku harus melakukan sesuatu untuk mengatasinya.” Ibu mer­tua Faiza berjalan cepat ke dapur. Dia mengambil sejumput cabai merah dari sebuah wadah, lalu kembali ke pekarangan dan meminta Faiza untuk berdiri di hadapannya. Sesuai ritual, dia melingkari udara di atas kepala dan bahu perempuan muda itu dengan tiga cabai merah yang masih berada di antara jemari tangannya. Lalu, dia memeriksa leher Faiza, mencari jimat yang ditulisi beberapa ayat suci Alquran oleh pir. Jimat itu untuk mengusir mata jahat.

“Kurasa, mulai sekarang sebaiknya aku berada di rumah se­pan­jang waktu,” katanya. “Aku tidak memercayai gadis itu. Kalau dia menginjakkan kaki di rumah kita lagi, aku akan ….” Dia berhenti di tengah kalimat.

“Kau akan apa, Robina Bibi?” tanya suaminya, yang baru kembali dari masjid. Lelaki itu mendengar perkataan istrinya.

Lihat selengkapnya