New Delhi dan Kot Badal Khan, India; Lahore, Pakistan, Agustus 1967
Raju yang malang kembali mengalami mimpi yang sama. Dalam mimpi itu, dia lagi-lagi menjadi dirinya yang masih berusia tujuh tahun.
“Air, air!” dia meminta dengan suara anak-anaknya yang nyaring, sambil menarik-narik tangan seorang pria. Sebuah tangan membekap kuat mulutnya, menghentikan teriakannya. Merasa sesak napas, tangan-tangan kecilnya mencakari jemari orang dewasa itu dengan sia-sia. Pria itu mengencangkan pegangannya, sambil menatap ke depan dalam kegelapan.
Raju duduk tegak di tempat tidur, jantungnya berdebar keras. Basah kuyup karena keringat, baju tidur muslinnya melekat ke tubuh. Terakhir kali dia mengalami mimpi buruk yang sama adalah tiga bulan lalu. Kali ini, mimpi buruknya terbukti akan menjadi awal yang tepat dari apa yang akan terjadi kepadanya hari itu.
Sewaktu kembali sehabis mandi, mata Raju melihat kemeja yang disetrika rapi telah ditaruh di tempat tidurnya. Rasa sayang terhadap ibunya pun muncul. Dia pun pergi mencari sang ibu di dapur, tempat wanita itu sedang membuat sarapan kesukaannya, yaitu paratha21 kentang.
“Namaste, Mata22 ji,” Raju menyapa sambil memeluknya dari belakang.
“Namaste, Anakku,” balas Kumari Patel, seraya membaluri paratha-nya dengan tambahan mentega ghee.
Saat menunggu di ruang makan, Raju membaca surat yang ditaruh ayahnya di meja sebelum meninggalkan rumah pagi itu untuk membuka toko tembikarnya.
Raju yang terkasih,
Kalau kau sudah memutuskan untuk melakukan apa yang sudah lama kau rencanakan hari ini, Bhagwan23 akan membantumu. Semoga kau beruntung, Putraku. Hanya saja, ingatlah bahwa kami sangat mencintaimu. Kami akan selalu mencintaimu, Putraku, apa pun yang terjadi.
Pita24 ji-mu yang tercinta.
Ibunya masuk ke ruangan dan menyajikan dua paratha panas dan dal25 di depannya. Biasanya mereka makan bersama. Hari ini tidak. Karena terlalu bingung, dia segera kembali ke dapur untuk menyembunyikan pipinya yang basah dan matanya yang berkaca-kaca.
Kumari Patel berdiri terisak-isak di atas cerek teh susu yang mulai mendidih. Dia telah berusaha begitu keras untuk bersikap sewajarnya mengenai hal ini, dengan sering mengingatkan diri sendiri bahwa dia harus memercayai putranya … tapi rasa cemburu terhadap seorang wanita yang tidak dikenal terus menyiksanya.
Perasaan gelisah yang berlebihan mulai menyerang perutnya, tapi Raju tetap mencelupkan potongan paratha-nya ke mangkuk dal. Sehabis makan, dia memanggil ibunya.
Tergesa-gesa menyeka mata dengan sudut lipatan sarinya sebelum masuk ke ruang makan, Kumari memucat saat melihat koper putranya. Meskipun dialah yang mengemasinya sendiri, koper itu menyimbolkan rasa kehilangannya. Dia mencium kening Raju dengan kasih sayang. Raju lalu membungkuk untuk menyentuh kaki sang ibu dengan penuh hormat. Dia tidak bisa pergi tanpa mengucapkan kata-kata pedih.
“Aku mencintaimu, Mata ji.”
“Aku juga mencintaimu, Anakku. Semoga Bhagwan menjagamu dan membantumu agar berhasil menjalani misimu. Kau sudah punya alamatnya?” tanyanya sebelum memeluk Raju.
“Ya. Alamatnya ada di buku harianku.” Raju menunjuk ke saku tersembunyi di dalam mantelnya.
Kumari ingin berkata-kata lagi, tapi menahan diri.
Setelah mengangkat kopernya, pemuda itu menoleh sekali lagi dan berkata, “Selamat tinggal, Ibu. Aku akan kembali.”
“Selamat jalan, Raju-ku,” sang ibu berkata lembut. Waktu akan memberi tahu apakah dia akan kembali, tapi Kumari tidak berhak menahan sang anak. Dia memperhatikan dari pintu depan, sampai dia tidak bisa lagi melihat taksi itu. Begitu masuk ke rumah, dia menangis seolah hatinya akan hancur.
Di stasiun Attari, Raju naik kereta Samjhauta Express, dengan menunjukkan karcis kelas satunya yang bertujuan Lahore, Pakistan, lalu duduk di kompartemennya. Di peron, para penjual keliling, dengan membawa kudapan lezat dalam keranjang-keranjang yang terisi penuh ditumpukan di bahu-bahu mereka, cepat-cepat menuju jendela kereta, sambil berulang kali menawarkan, “Garm samosas26, garm pakoras27.” Para penjaja pisang dan satsuma28 dengan penuh semangat berlomba-lomba menarik minat para penumpang juga. Dari jendelanya, Raju menolak tawaran-tawaran itu dengan lambaian tangan. Lima menit kemudian, kereta mulai berguncang diiringi peluit nyaring, bergerak maju dengan cepat sambil mengepulkan asap menuju perbatasan Wagah, yang memisahkan India dari Pakistan.
Raju duduk sambil memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya dan orang-orang yang mungkin akan dijumpainya. Akan seperti apa rupa mereka? Akan seperti apa rupa pria itu? Raju dengan cepat mengalihkan pikirannya ke wanita itu. Akankah mereka menyerupai bayang-bayang kabur dalam benaknya? Dan, bagaimana mereka akan bereaksi atas kemunculannya di ambang pintu mereka?
Dia lalu tertidur dan dibangunkan oleh kereta yang berhenti di perbatasan Wagah, tempat pengurusan bea cukai dan izin imigrasi.
Sewaktu kereta memasuki stasiun Lahore di Pakistan menjelang sore, Raju duduk tegak, perasaan gembira merayapinya. Namun, saat memandang ke luar jendela, dia memperhatikan tempat itu hanyalah replika dari stasiun India lainnya: gaya bangunan yang sama, suasana ramai dan keadaan yang sama, dengan para penjaja giat menjual barang-barang mereka. Orang-orang ada di mana-mana, dengan warna kulit yang sama seperti orang India.
Di taksi, Raju menatap ke luar jendela, membiarkan pemandangan kehidupan kota Lahore pada tengah hari berlalu di hadapannya. Taksi itu melaju melewati bangunan-bangunan mengesankan Museum Lahore dan kampus lama Universitas Punjab yang berbata merah dan bergaya Victoria. Si sopir dengan cekatan mengarahkan taksinya melewati kemacetan lalu lintas yang dipenuhi motor, rickshaw29, truk, bus mini, dan mobil, menuju jalur-jalur Mall Road yang lebih lengang, yang mengarah ke bandara dan wilayah markas sementara pasukan angkatan darat yang terkenal dengan sebutan “Kent” oleh para penduduk Lahore.
Taksi akhirnya berhenti di sebuah jalan besar yang dijajari plaza-plaza perbelanjaan modern dan rumah-rumah. Raju, yang sedari tadi mengobrol dengan si sopir tentang kriket, terdiam tiba-tiba, jantungnya berdebar-debar. Si sopir menunjuk sebuah rumah mewah berlantai dua dengan bagian muka berubin putih dan merah muda kekuningan, serta balkon dari besi tempa yang mengitari lantai atas.
Raju membayar si sopir dengan uang rupee Pakistan yang sudah ditukarnya di Delhi. Taksi itu pun lenyap di tengah lalu lintas menjelang sore, bersamaan dengan anak-anak sekolahan yang pulang ke rumah. Tidak mampu meredakan debaran jantungnya, Raju berdiri dengan memegangi kopernya, belum siap untuk membunyikan bel di samping pintu gerbang yang menakjubkan dan menjumpai para penghuninya.
Di seberang jalan itu terdapat sebuah kafe. Raju menyeberang dan memesan dua samosa dan secangkir teh. Teringat ibunya, dia memilih samosa sayur. Sebagai seorang Hindu ortodoks, sang ibu melarang makan daging di rumah mereka. Namun, dia pura-pura tidak melihat kenyataan bahwa putra dan suaminya kerap membeli ayam panggang di restoran.
Raju duduk di dekat jendela, matanya tertuju ke rumah itu. Teriakan juru azan untuk salat dari sebuah masjid setempat mengejutkannya. Beberapa pria di kafe pergi untuk menunaikan salat, berjalan ke arah menara-menara yang menjulang di belakang deretan plaza. Cangkir teh Raju tetap dipegang di dekat mulutnya, karena pintu gerbang rumah itu sudah terbuka dan seorang pria bertinggi rata-rata melangkah ke luar. Berpakaian setelan shalwar kameez putih bergaya tradisional dan peci di kepala, pria itu pergi menuju masjid. Mata Raju mengikuti pria itu sampai dia menghilang di pojokan.
Tidak menyadari perhatian yang telah dia timbulkan dalam diri pemuda yang sedang duduk di dalam kafe di seberang jalan, Sarwar Hussein berjalan cepat untuk menyeimbangi langkah temannya, yang ingin sekali duduk di barisan depan jamaah.
Masjid itu dipenuhi pria-pria yang duduk dalam barisan rapi. Sarwar Hussein mengambil tempat biasa di bagian belakang jemaah. Beberapa menit kemudian, salat itu berakhir. Sebagian besar pria pergi, kembali ke pekerjaan mereka, pulang atau berbisnis. Beberapa pria tetap tinggal, duduk di kursi atau di atas karpet mewah, sambil memanjatkan doa pribadi mereka agar didengar oleh Allah Yang Mahakuasa.
Sarwar Hussein adalah salah seorang dari pria ini, kedua tangannya terangkat di depannya dengan air mata mengalir di pipi cokelatnya. Orang-orang sudah berhenti menanyainya mengapa dia selalu mengakhiri doanya dengan tangisan. Karena terlalu segan dan bijak sehingga tidak mau mencampuri urusan orang lain, mereka meninggalkan dia sendirian dengan kesedihannya.
Selalu saja kata-kata pertama doa pribadi Sarwar berbunyi: “Ampunilah hamba, Ya Allah Yang Mahakuasa, karena hamba telah berdosa … dan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dapat memikul beban yang lebih berat di pundaknya daripada beban yang telah hamba pikul selama dua puluh tahun terakhir.”
Di masjid, kenangan-kenangan masa lalu menyiksanya. Terutama satu kejadian yang tidak pernah bisa dilupakannya—ketika dia tanpa sengaja mencekik mati putra terkasihnya yang masih kecil!
Inilah rahasia tragis yang telah menggerogoti jiwanya selama dua dekade belakangan dan membuat istrinya mengalami stres. Putri sulung mereka masih terlalu kecil sehingga belum mampu mengingat. Mereka meninggalkan India bersama para pengungsi Muslim lainnya pada 1947 ketika India terbagi menjadi dua bagian dan Pakistan didirikan sebagai sebuah negara untuk umat Muslim. Mereka tidak pernah berbagi kisah menyakitkan ini dengan tetangga dan teman baru mereka di Pakistan.
Mereka kini memiliki tiga anak: satu putri dari India, dan seorang putra dan putri yang lahir di Pakistan. Baik dirinya maupun sang istri tidak pernah melupakan putra sulung mereka, yang jenazahnya mereka tinggalkan di India, bahkan tanpa menguburkannya. Sang istri, Zarine, tidak pernah memaafkan suaminya atas apa yang terjadi malam itu.
Dengan mata terpejam, Sarwar Hussein menahan suara erangan saat dia membiarkan ingatan-ingatan dari malam mematikan itu menghantuinya lagi. Mengenang ingatan-ingatan itu merupakan ritual sehari-hari dan bentuk penghukuman yang diterimanya dengan senang hati.
Agustus 1947
Di Kot Badal Khan, dekat distrik Nakodar di India, Zarine duduk meringkuk bersama dua anaknya di gudang belakang rumah mereka. Dilanda kengerian akan diserang oleh kaum Sikh atau Hindu, dia sudah mematikan semua lampu dan dengan gugup mengulangi ayat-ayat Surah Yasin dengan suara berbisik.
Seolah seluruh dunia telah menjadi gila. Dengan disusunnya “skema Mountbatten” dan dibuatnya “garis Radcliffe”30, India terbelah menjadi dua bagian, dengan Pakistan di sebelah utara bagi umat Muslim. Tetangga berbalik melawan tetangga; teman melawan teman. Semua demi agama. Tidak seorang pun bisa dipercaya. Dengan kerusuhan komunal yang kian memanas, ketakutan dan kekacauan merajalela. Beberapa bulan sebelumnya, tak dapat dibayangkan bahwa hal seperti ini bisa terjadi di sebuah negara yang beradab. Dalam waktu semalam, jutaan orang dijadikan pengungsi.
Yang tidak diantisipasi oleh para pengambil keputusan asal India maupun Inggris adalah lemahnya umat manusia dan mudahnya mereka dikuasai kebencian.
Kemarahan merajalela. Seluruh distrik—di mana kaum Hindu, Sikh, dan Muslim telah hidup berdampingan dengan berbagi tembok, balkon, tempat pemeliharaan hewan, halaman, tempat masak dan cuci umum—telah menjadi wilayah-wilayah yang berbahaya. Rumah dan toko dirampok, dijarah, dan dibakar. Kaum Muslim dan Sikh yang terutama berselisih. Kebencian kaum Sikh terhadap kaum Muslim dikobarkan dengan persoalan Khalistan. Kaum Muslim telah memperoleh Pakistan. Bagaimana dengan kaum Sikh? Mereka juga berhak mendapat negara sendiri—Khalistan mereka.
Kabar tentang orang-orang dibantai di kereta yang datang dari dan pergi ke Pakistan, menakutkan mereka yang melarikan diri dari rumah dengan membawa barang milik mereka di gerobak-gerobak sapi, beserta orang-orang tua yang diangkut dengan tandu menuju tempat aman di Delhi Red Fort, kamp-kamp Purana Qila.
Kawan-kawan yang khawatir dan para pemimpin setempat dari kelompok agama berbeda mendesak orang-orang terkasih mereka untuk menyelamatkan diri, melupakan rumah mereka, sawah-sawah, panen kapas, binatang, dan pekerjaan mereka. Hanya ada satu pilihan: melarikan diri ke daerah yang ditetapkan bagi mereka. Kaum Muslim menuju utara, ke negara baru Pakistan, dengan Lahore—ibu kota Mughal lama di India—di sisinya. Kaum Hindu dari utara, wilayah Swat yang bergunung-gunung, dan dari kota Peshawar, serta kaum Pathan Sikh dari Punjab, melarikan diri ke selatan, ke negara Hindu India, Hindustan.
Provinsi Sindh di Pakistan, dengan pelabuhan besarnya di Karachi, menjadi tujuan umum bagi para pengungsi, kaum Muhajir. Tempat itu merupakan kampung halaman Mohammed Ali Jinnah, yang bersama sekelompok orang telah mendirikan negara Pakistan.
Dibandingkan mereka semua yang melarikan diri ke Pakistan, kaum Muslim dengan jumlah yang sama tetap tinggal di India: mereka pergi ke Kerala, Lucknow, dan Hyderabad. Inilah saatnya dimulai kegilaan skema pertukaran rumah, dengan kaum Muslim menempati rumah-rumah kaum Hindu yang ditinggalkan, sementara kaum Hindu diberikan rumah-rumah kaum Muslim yang kosong. Detail pertukaran hak yang morat-marit akan diurus nanti. Kalau rumah satu keluarga lebih besar dibanding rumah yang telah mereka tinggalkan, mereka harus siap membayar selisihnya, begitu pun sebaliknya.
Ketika “garis Radcliffe” yang terkenal digambarkan di peta, dengan membelah sungai, kota kecil, dan kota besar, orang-orang sama sekali tidak percaya. Mereka bangun keesokan hari, entah di India atau Pakistan. Dengan begitu banyak hal yang dipertaruhkan, orang-orang awalnya hanya menanti, menunggu kesempatan yang baik, mengerumuni radio-radio mereka, dengan gelisah mendengarkan berita terbaru setiap jam. Meninggalkan seluruh gaya hidup dan melarikan diri begitu saja bukanlah perkara remeh. Dari yang tadinya menjadi pengusaha sukses, pemilik toko, petani kaya, pegawai pemerintah, pegawai sipil, dan anggota komunitas yang terhormat, orang-orang ini awalnya menjadi pelarian dan kemudian pengungsi—dengan kata lain, kalau mereka mencapai tujuan mereka dengan selamat. Kaum Muslim yang tinggal di kota-kota sebelah utara seperti Lahore, Montgomery, dan Lyallpur menyelamati diri sendiri atas nasib baik mereka karena tinggal di wilayah itu. Namun, tetangga-tetangga mereka yang beragama Sikh dan Hindu, dalam hitungan jam dan hari telah melarikan diri bersama keluarga mereka ke daerah selatan, meninggalkan rumah, barang, dan teman-teman tercinta mereka. Muncul kepiluan, kecemasan, dan kekacauan.
Sarwar Hussein adalah salah satu dari mereka yang tersisa, bimbang untuk pergi atau tinggal. Dua saudara kandungnya di Nakodar sudah pergi untuk bertemu dengan beberapa kerabat yang tinggal di Lahore, tujuan pasti bagi keluarganya. Seperti ribuan orang India lainnya, dia enggan memercayai bahwa dia harus meninggalkan rumahnya!
Namun, teman sekolah dan tetangganya yang beragama Hindu, Lal Mehra, dengan serius membawa pulang kabar untuknya bahwa dia membahayakan nyawa keluarga mudanya dengan tinggal di India. Sanak Zarine, yang tinggal di kota Phillaur yang dekat, sudah melarikan diri ke utara dengan naik bus yang disediakan.
“Kau adalah kawanku yang terhormat, Sarwar ji, dan aku sangat menyayangimu, tapi aku tidak bisa mencegah apa pun yang terjadi kepadamu atau keluargamu. Situasi di sini sungguh amat buruk karena huru-hara ini, Saudaraku, percayalah. Kau harus keluar dari wilayah ini! Kalau aku membantumu, massa akan membakar habis rumahku. Tidak seorang pun yang bisa dipercaya sekarang. Kau mengerti maksudku, ‘kan, Sarwar ji?”
Ya, Sarwar mulai memahami situasi itu dengan baik ketika dia menelepon saudaranya dari kantor pos setempat pada malam hari. Saudaranya menganjurkannya untuk membeli karcis dari Phillaur untuk sampai ke stasiun kereta Jullundur dan katanya dia akan menemui mereka di sana. Dalam perjalanan pulang, dengan bersepeda, Sarwar melewati kota kecil Banga, yang didiami oleh keluarga-keluarga Sikh. Dia meninggalkan jalan utama dengan diam-diam dan bersembunyi di balik sebuah pohon setelah menyaksikan seorang pemuda Muslim diadang tiba-tiba oleh segerombolan anak muda Sikh. Karena ketakutan, Sarwar tetap meringkuk di tempat.
Dalam perkelahian itu, si pemuda Muslim memukul salah seorang pemuda Sikh hingga terjatuh; kepala pemuda itu terbentur ke batu besar dan dia mati seketika. Dalam kemarahan, pemuda lain menyerangnya dengan kejam dan satu orang menikamnya di leher. Jeritan minta tolongnya saat dia kehabisan darah hingga tewas memekakkan telinga Sarwar. Dengan perasaan ngeri setengah mati, dia merangkak masuk ke kebun tebu. Meskipun rasa mual mengocok-ngocok perutnya, dia tetap di sana selama berjam-jam. Mulutnya kering dan merasa haus, tapi dia takut meminum air berwarna kemerah-merahan dari sumur di dekat kebun, karena tahu air itu bisa jadi didisinfeksi untuk mencegah penyebaran wabah kolera.
Peristiwa itu mengajarinya bahwa bepergian melalui Banga bukanlah pilihan bagi keluarganya sekarang. Mereka tidak bisa mengambil risiko diserang oleh segerombolan orang gara-gara balas dendam. Dengan jantung yang berdebar keras seperti tabuhan tabla, dia mengambil kembali sepedanya dan pulang diam-diam dalam kegelapan malam, mengayuh dengan susah payah dan napas terengah-engah, terus-menerus menengok ke belakang kalau-kalau seseorang membuntutinya.
“Allah,” bisiknya, “Lal ji benar. Kalau inilah kenyataan hidup di India sekarang, maka kami tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Bukan berarti kami ingin pergi. Aku mencintai negeri ini, tanah airku, Sungai Sutlej. Di sinilah tempat kelahiranku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan orangtuaku di kuburan tua? Meninggalkan toko panganku, dengan stok barangnya yang menumpuk tinggi hingga ke langit-langit? Seluruh tabungan kami yang sudah aku investasikan dalam bentuk barang dagangan? Tapi, kami tidak bisa membawa serta apa pun, selain uang dan perhiasan emas. Melihat situasinya, kami akan beruntung kalau kami berhasil meninggalkan daerah kami dengan selamat tanpa terluka sedikit pun.”