Dibawah lampu temaram jalan, malam kali ini, bahkan tanpa sinar indurasmi, payoda yang kian kelabu pun menghiasi. Nabastala hampir menangis, sama seperti lelaki itu, dadanya sesak. Banyak keluh dan peluh, namun dimanakah tempatnya pulang?
Bibirnya merah merekah, dengan sudut yang dihiasi darah, kehidupan jalanan yang begitu keras untuk bahu rapuh miliknya. Tanpa keluarga, sanak saudara, apalagi cinta.
Sesuatu yang ia perjuangkan kini sirna, semua hirap bersama rasa kecewa dan angan yang terbang bersama anila. Berkali-kali tangannya mengepal, dendam itu hendak meledak. Rahsa dalam dada yang kian memberontak, hatinya benci, namun logika mengajaknya untuk tidak peduli.
Setapak demi setapak, lelaki itu menelusuri jalan tanpa alas apapun, berbekal keyakinan dan entah apa, sesuatu yang mungkin ia percaya. Berjalan tanpa arah tujuan.
"Arrggh!"
Lelaki semampai dengan rahang tegas dan netra yang kian menajam itu berkali-kali berteriak sebab rasa sakit yang tak kunjung hilang.
Bruk!!!
Tanpa aba-aba, sebuah kendaraan beroda empat melaju dengan kecepatan diatas rata-rata dan menabraknya, membuat tubuhnya tersungkur beberapa meter dari tempatnya tadi berdiri. Ambruk. Pertahanannya runtuh. Wajahnya sudah mencium aspal, darah segar pun tak tertahan keluar. Matanya hampir terpejam, sebelum sepersekian detik setelahnya ia benar-benar memejam, terdengar sayup suara yang sungguh ia kenal.