Langkah kaki mereka menderap bersamaan. Menyusuri jalan kota yang masih ramai dipenuhi jiwa muda. Malam mingguan katanya. Tangan yang saling bertautan, sesekali bahkan lelaki bernama Dheandra itu merangkulnya.
Bahagia. Kata itu mungkin dapat mewakilkan rasa miliknya. Namun, mengapa gadisnya kini terlihat murung? Apakah dia tengah pundung? Dheandra beberapa kali menilik ekspresi wajah gadisnya. Hatinya ikut sakit kala gadisnya tak bahagia, atau bahkan menangis.
"Kamu kenapa, ca?" tanyanya masih dengan langkah yang menderap.
Theresa namanya, lebih akrab dipanggil Caca. Nama istimewa mungkin bagi Dheandra. Gadis cantik bak Dewi Yunani, afsun yang akan menarik siapa saja di tatapan pertama. Beruntung. Hal itu yang dirasakan oleh lelaki bernama Dheandra. Bagaimana tidak? Caca dikejar banyak lelaki dan gadis itu malah memilihnya. Hubungan mereka baru berjalan 3 tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat, apalagi jika dibanding dengan kenangan, susah, dan bahagia yang mereka lewati bersama.
"Ca?" tanyanya lagi sembari menggoyang bahu milik gadisnya.
Caca mendongak, netranya mengilat hangat, senyumnya terbit di detik berikutnya, "Iya?" suaranya terdengar lembut di pendengaran milik Dheandra.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi. Caca menggeleng pelan.
Seketika dahinya dihiasi kerut, benaknya penuh tanya, "Apa dia sakit?" batinnya agak mengada-ada. "Ah, tidak mungkin," tukasnya pada diri sendiri.
Dheandra diam, masih menderap mengitari taman berduaan. Langkah mereka seirama. Bahkan dua anak kembar rasanya akan dikalahkan oleh keserasian mereka berdua. Iris mata indah dihiasi alis tebal milik Dheandra itu, tak sengaja melihat sesuatu di tepi jalan tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Mau jagung bakar?" ujarnya sepersekian detik setelah memastikan pedagang kaki lima itu benar penjual jagung bakar.
Caca hanya mengangguk. Gadis yang sulit ditebak, terkadang dingin dan terkadang hangat secara tiba-tiba. Sikapnya seperti orang demam saja. Oh tidak! Mungkin lebih seperti cuaca yang kian hari tak menentu.
Beberapa menit menunggu jagung bakar itu jadi. Tak ada percakapan yang berarti. Hanya sunyi dan suara pedagang kaki lima yang menghiasi, atau mungkin suara kendaraan berlalu lalang lebih mendominasi. Tak begitu indah. Bahkan bisa dikata suram kala wajah gadis itu muram. Dheandra hanya bisa pasrah. Kata salah satu gurunya dulu di STM. Wanita itu adalah seseorang yang suka menggunakan bahasa kias, sedang lelaki adalah sosok yang kurang peka, jika keduanya tidak saling berusaha untuk mengerti, mungkin hubungan tak akan bertahan lama. Begitu katanya. Benak Dheandra pun kini membenarkan, wanita itu rumit. Bahkan lebih rumit dari rumus fisika dan kimia.