Mataku terpejam dalam ketakutan. Semalaman berdiam diri di sudut ruang membuatku menggigil kedinginan. Tubuh ini mulai merasa hangat ketika salah seorang suster datang dan menyelimutiku. Dia juga membawaku kembali ke tempat tidur sembari mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Baik-baik saja bagaimana? Sedangkan hal ini selalu berlangsung hampir setiap malam. Apa dia tidak mengerti penderitaanku? Kenapa dia terus mengatakan hal itu sedangkan aku sendiri merasakan apa yang kukatakan. Sesaat emosiku hampir memuncak, tetapi karena dingin yang kurasakan bibirku hanya bisa bungkam dan membiarkannya berbicara omong kosong.
Kini tubuhku mulai terbaring dengan selimut yang menutupinya. Suster itu juga segera keluar sembari mematikan lampu yang sempat menyala. Aku benci cahaya, tetapi aku juga benci kegelapan! Tubuhku meringkuk, mencoba menahan takut yang masih menyelimuti diri. Tidak lama berselang, mataku kembali terpejam karena hari memang masih malam.
Siulan burung mulai terdengar di telingaku. Membangunkan pagi cerahku dengan sedikit kegembiraan. Pagi ini belum ada suster yang mengusik pagiku. Biasanya, mereka akan datang sebelum mataku terbuka. Entah ada apa dengan hari ini, tetapi rasanya lega sekali tidak melihat wajah mereka yang menyebalkan.
Baru saja perasaan lega itu timbul, tidak lama kemudian suara para suster terdengar di luar kamarku. Namun, kali ini terdengar jelas bahwa ada banyak orang di luar. Biasanya, hanya ada satu atau dua suster saja yang akan mengunjungiku di pagi hari. Apa ada sesuatu pagi ini?
“Selamat pagi!” sapa salah seorang suster. Aku terdiam, mengabaikan sapaannya dan fokus pada orang-orang yang berada di belakang suster itu. Ada seorang dokter, satu orang suster lagi, dan dua orang asing yang entah siapa mereka.
Begitu menatapku, wanita paruh baya yang datang bersama dokter dan suster segera memelukku sembari menangis tersedu-sedu. Sedangkan, laki-laki yang datang bersamanya tetap diam di samping dokter itu. Sebenarnya siapa mereka? Aku tidak dapat mengingatnya meski suaranya terdengar familier di telingaku.
“Nak, kamu tenang saja, kita akan pulang hari ini.”
Nak? Pulang? Memangnya dia mengenalku? Apa kita ini keluarga? Rasanya ingin sekali menanyakan beberapa pertanyaan itu, tetapi suaraku engan untuk keluar. Bibirku terasa kelu dan pikiranku mulai dilanda kebingungan. Sebenarnya siapa orang ini?