Yerusalem, September 1996.
Duaaar … Duaar ….
Boooam ….
Suara ledakan yang maha dahsyat membuat gendang telinga bergetar, detak jantungku memburu kencang, kepanikan membekap mulutku hingga sulit untuk bernapas. Aku dapat mendengar jelas napas Umi yang terengah-engah berlari sambil mengendong Arusha, membawa anak itu keluar dari Masjid Al- Aqsa. Tubuh berat Arusha terasa menekan tubuhku hingga kesudut dinding rahim Umi.
Tubuhku berguncang-guncang, membuat posisi tidur menjadi tak nyaman, duduk pun terasa sulit. Aku mendekap kedua lutut seraya berdoa memohon perlindungan dari-Nya. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar sana.
Tak lama berselang setelah ledakan bom berlalu, aku kembali mendengar suara tembakan yang beruntun, ramai menyerang Yerusalem hingga ke dalam terowongan Masjid Al-Aqsa, begitulah kudengar Umi menyebut nama tempat yang kami kunjungi. Aku berteriak ketakutan. Suaraku tak keluar, tertahan di dalam kantung tebal yang membungkus tubuh mungil, hanya kaki yang sedikit kugerakan mencari posisi aman.
Umi mengusap lembut tubuhku sembari bersolawat dan Arusha mendekap erat leher Umi dengan tangis yang tertahan. Umi menurunkan Arusha di tempat yang aman, di dekat Mihrob Umar—begitulah aku mendengar banyak suara yang menyebut nama tempat ini.
Aku mencari-cari suara Abi.
Ke mana Abi?
Kenapa mereka meninggalkan aku, Umi dan Arusha?
“Madre ke mana, Tante?” tanya Arusha dengan suara gemetar, ia mendekap erat pinggang Umi.
“Mungkin Madre sudah berlari menyelamatkan diri. Nanti kalau situasi sudah tenang kita akan cari Madre ya,” bujuk Umi pada Arusha. Tangan kirinya memeluk kepala Arusha dan tangan kanannya membelai tubuhku.
Aku tak mendengar suara Arusha, hanya suara bisikan Umi yang meminta Arusha untuk berzikir, kemudian Umi pun sibuk menenangkan orang-orang yang mengunjungi Masjid Al-Aqsa, yang bersembunyi di tempat yang sama dengan Umi.
Untuk beberapa saat, kami semua merasakan ketenangan. Aku pun bisa merebahkan kembali tubuh ke dinding rahim Umi.
Namun tiba-tiba ….
Suara bentakan dan tembakan keras mengejutkan kami semua, aku tak mengerti bahasa apa yang mereka pakai, dan suasana jadi ramai kembali. Teriakan histeris dan suara tangis anak-anak terdengar setelah bunyi tembakan. Ketika Umi berusaha berlari sambil menuntun Arusha, sebuah senjata berlaras panjang di todongkan seseorang ke arah perut Umi, tepat menyentuh indera penciumanku. Hingga tubuh Umi terdorong ke dinding masjid yang sudah berbau asap.
Dapat kurasakan aroma amunisi yang norak menyengat rongga penciuman. Aku menggeliat gelisah, menggerakan kaki kuat-kuat, memalingkan wajah menghindari aroma yang membuat udara di dalam gua garba ini semakin berkurang. Ketakutan serta kepanikan menguasaiku dan Umi. Arusha menyembunyikan badannya dibalik punggung Umi sambil menahan tangis.
Aku juga merasakan bagaimana upaya Umi menahan napas, membunuh rasa takut. Meski tak dapat dihindari debaran kencang jantung Umi mengganggu jalan napasku.
Aku mendengar tangis Arusha dibelakang punggung Umi, serta rintihannya memohon pertolongan Allah, namun bentakan keras tentara zionis itu membuat Arusha tergagap dan diam.