Ingatanku terus mengembara, menyusun kepingan-kepingan mimpi yang berserakan, terpotong-potong oleh waktu yang panjang.
Aku ingat. Pada suatu pagi sebelum peristiwa memilukan itu terjadi. Arusha—nama lelaki kecil yang berusia 10 tahun tersebut—membelaiku dengan lantunan surat-surat cinta. Suaranya merdu sekali membuatku seakan dibawa terbang ke surga Firdaus yang indah.
Kadang aku penasaran ingin melihat paras pemilik suara merdu itu, sayangnya mataku belum mampu menembus bungkus bening yang menyelubungi jasad lemahku. Ada hijab fisik dan non fisik yang menjadi jarak antara aku dan Arusha, lelaki kecil bersuara emas tersebut.
Bila malam datang, tak sabar rasanya menunggu pagi tiba. Aku ingin mendengar ketukan langkah kaki kecilnya memasuki kamar hotel tempat Umi dan Abi menginap, aku tak sabar ingin mendengarnya mengaji. Biasanya setelah mendengarkan surat cinta yang ia senandungkan, tidurku akan lelap bersama lelapnya tidur Umi.
Namun semenjak kejadian kerusuhan di terowongan Al-Aqsa, aku tak lagi mendengar suara Arusha. Yang kudengar hanya suara tangis pilu yang mengalir bersama rintihan serta ratapan Umi dan entah siapa saja. Suara-suara yang membuatku terjebak dalam kebingungan.
Ke mana Arusha?
Apa yang terjadi padanya?
Tiba-tiba aku tak dapat mengingat apa-apa. Hanya rindu yang datang bertamu bersama banyaknya kalimat tanya.
Kuraih kembali gelas minum di meja sisi ranjang, meneguk airnya hingga tak bersisa lagi. Kubaringkan lagi tubuh dengan tangan sibuk mengurut-urut kening yang terasa berat, telingaku tidak berhenti berdengung seperti ada yang berbisik namun suaranya tak jelas.
Aku benar-benar merasa sangat terganggu, sudah berapa malam berturut-turut ini mimpi-mimpi tersebut datang lagi setelah sekian lama tak pernah bertandang, kali ini hadirnya disertai bisikan yang membuat gendang telinga menjadi pengang.
Kulafazkan berbagai zikir dan doa yang di ajarkan Abi dan guru mengajiku, agar aku dapat kembali lelap tanpa mimpi.
Namun baru saja aku mataku hendak terpejam, suara dentuman disertai desingan peluru kembali menghujani bumi. Suara teriakan dan tangisan kembali riuh ramai menyapa pendengaranku. Pandangan mata terhalang asap tebal, pekat.
Setelah rudal itu di jatuhkan, api besar menggulung bumi, tubuhku gemetar, napasku sesak, kepulan asap membumbung tinggi ….
“Aaaa ….”
“Tolooong ….”
“Madreee, Padreee, Tanteee Haniiim, Om Zadiii ….” Aku mendengar suara teriakan Arusha yang bergema, bercampur baur bersama suara tangisnya dan tangis anak-anak lain. Ia berlari kebingungan hingga Umi menyambar tubuhnya.
Aku bergegas bangkit dari tidur, duduk bersandar sambil memegangi dada. Napasku terengah-engah, jantungku seakan mau putus. Peluh kembali membasahi tubuh.
Ya Allah, aku lelah, gumamku lirih.
Aku ingin menangis, menyemburkan bendungan air yang memenuhi hati dan kelopak mata, namun jangankan airmata, butiran embun pun tak mau keluar. Mataku kering, perih sekali. Hanya sekedar mengeluarkan suara pun aku tak mampu, semua rasa tertahan di dada dan kerongkongan. Mataku panas, leher pun sakit sekali.
“Umi, Abi ….” Rintihku. Kututup wajah dengan kedua tangan.
Sesosok bayangan putih yang diselubungi kabut asap berwarna kelabu, bergerak perlahan melayang mendekatiku. Wajahnya tertutup topi kain, kepalanya tertunduk dalam, suaranya parau memanggil-manggil namaku.
Aku sempat menurunkan kepala untuk melihat wajahnya untuk memastikan apakah sosok yang mendatangiku ini Arusha atau bukan, tetap saja aku tak bisa melihat wajahnya, atau mungkin ia tak memiliki wajah. Entahlah, mungkin ia menundukan kepala bukan karena menyembunyikan wajahnya, tetapi memang tak memiliki wajah.
“Jannahda, tolooong ….” Serunya. Ia sudah berada di bibir ranjangku. Aku meloncat turun dan berlari ke sudut kamar, terduduk, dengan kepala tertunduk, menutupi kedua telinga dengan tangan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, mengatupkan kedua mata rapat-rapat dan berseru gemetar, “Jaaa … ngaaan, jjjaa … jangan. Umiii ….” Teriakku histeris.