Bandung, September 2013.
Siang ini, kesunyian mengakrabiku. Jarum detik yang berputar di dinding ruangan VIP Rumah Sakit Tirta Kencana mengajakku menggali ingatan tentang masa kecil. Awal di mana aku mulai merasakan ada yang aneh dalam diri ini.
Tanpa di sadari, aku mulai menggunakan kemampuan penginderaan untuk menembus dimensi ruang waktu, otak pun mulai sibuk mengingat dan menggali informasi masa lalu.
Seville, 1 Januari 1997.
Pada sepertiga malam menjelang datangnya fajar kizib, aku menggeliat dalam rahim Umi, memutar tubuh 180 derajat, mencari jalan keluar. Seorang anak lelaki tampan terus menerus memanggil namaku, mengajak pergi kesebuah taman yang sangat indah sekali. Aku menolaknya, aku ingin melihat matahari, menghitung bintang, berlari-lari kecil di taman yang penuh bunga di istana Al-Hambra seperti yang selalu di dongengkan Umi.
Lelaki itu tak menyerah, ia terus merayuku, mengajak kembali ke alam arwah, tinggal di dalam sebuah kandil yang bercahaya gemilang. Aku tetap menolak, suara Umi dan Abi membuatku tak tahan ingin menatap wajah keduanya. Aku terus bergerak liar, hingga tali ari-ari terlilit di leher kecil ini.
Tepat saat mentari terbit, Umi di dorong masuk kamar operasi. Aku merasakan luka sayatan di perut Umi, sebuah sinar menembus celah-celah kulit perut yang telah terkelupas, selapis demi selapis. Aku mendorong kaki kuat-kuat menuju cahaya itu, namun lelaki tampan itu masih nekat hendak menarik tanganku, aku menepiskannya. Aku memilih uluran tangan yang dibalut oleh sarung tangan plastik, mereka menyelamatkanku dari lelaki tampan itu.
Tepat ketika matahari naik kesepenggalan langit, di waktu dhuha, aku terbebas keluar dari rahim Umi, lahir dalam keadaan normal dan sehat tanpa kurang satu apapun. 1 Januari 1997 untuk pertama kalinya aku menangis kencang sekali, lahir dengan menggenggam daun perjanjian antara aku dan Allah. Janji terakhir yang kuucapkan setelah melewati beberapa alam. Alam ruh, alam rahim dan alam dunia.
Abi, Eyang dan Abuelo—sebutan kakek untuk orang Spanyol—memberiku nama Putri Jannahda Amaia binti Ibnu Azadi. Panggil aku, Nahda atau cukup Na saja. Aku putri semata wayang pasangan DR. dr. Ibnu Azadi, SpPD-KKV FINASIM dan DR. dr. Hanim Hafsyari, SpPD-KGH. Abi, begitu aku memanggil ayahku, beliau berasal dari Cordoba, Spanyol, yang menikahi seorang gadis berparas ayu berasal dari Indonesia yang berdarah bangsawan Sunda, Umi begitulah aku memanggil ibu.
Aku dilahirkan disebuah kota yang terletak tidak jauh dari kota Cordoba. Kota Seville namanya. Merupakan ibukota Andalusia, Spanyol. Di kota tersebut Abi dan Umi bertugas sebagai seorang dokter, namun saat usiaku belum genap 1 tahun Umi pindah tugas ke kota Cordoba, beberapa bulan kemudian Abi pun ikut pindah ke Cordoba.
Masa kecilku di lalui di kota Cordoba, sebuah kota yang indah di Spanyol yang memiliki nilai sejarah peradaban Islam yang tinggi. Bangunan-bangunan indah dan istana-istana kecil yang sangat menawan, kilaunya bagai cahaya mentari dan keelokannya dapat menghapus kesedihan.
Aku termasuk seorang anak yang memiliki ingatan yang tajam. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana masa kecil yang dilalui di Cordoba. Abuelo sering mengajakku mengunjungi Mezquita-Katedral Cordoba, salah satu bangunan yang megah dan penuh nilai sejarah. Awalnya bangunan tersebut sebuah gereja, tetapi kemudian beralih fungsi menjadi masjid, lalu berubah fungsi kembali menjadi gereja. Bangunan yang berasal dari abad ke-10 ini merupakan salah satu bangunan paling terkenal di dunia! Sambil berjalan-jalan, Abuelo selalu mencerita sejarah kota yang menakjubkan ini.
Meski sibuk bekerja, Abi dan Umi selalu menyempatkan diri untuk bermain denganku, mengajak berkeliling kota Cordoba, memperkenalkan betapa indahnya senja yang dipandang dari atas Jembatan Al-Qhantarah atau lebih dikenal dengan nama Roman Bridge Of Cordoba. Sebuah jembatan tua yang membentang anggun di atas sungai besar yang bernama sungai Al-Wadi` sekarang disebut Guadalquivir.
Spanyol bagaikan sebuah negeri dongeng menurutku. Dan aku bangga dilahirkan di negeri yang telah melahirkan banyak pujangga-pujangga serta cendikiawan Islam.
Masa kecil yang indah itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah petaka buatku. Suatu malam aku menyaksikan kehancuran Cordoba, seluruh bangunan yang indah porak porandah, Cordoba yang indah bagai taman surga berubah menjadi taman berdarah yang bercampur debu hitam, lampu-lampu kota yang gemerlap bagai bintang seketika gelap mencekam.
Sekumpulan prajurit bangsa Barbar dengan ganas membumi hanguskan Cordoba dan memakan jantung-jantung manusia. Aku berteriak histeris, batinku terguncang dalam tangis yang keras, menyayat hati dan mengetuk keras dinding jantungku. Dadaku seakan-akan meledak menyaksikan kehancuran Codoba.
Aku berharap suara tangis dapat meringankan dada, sayangnya hanya beberapa tetes embun saja yang jatuh di pipi yang pucat. Tak ada tangis yang pecah, semua emosi yang bergejolak di dalam batinku membeku.