Bandung, September 2013.
Senin pagi yang cerah dan hangat. Sinar kuning mentari menerobos masuk melalui sela-sela ventilasi kamar yang kebetulan jendela kamarku menghadap ke arah matahari terbit. Sebagian sinarnya jatuh tepat di pipi kiri. Aku mengerjapkan mata beberap kali, mengusap wajah, membersihkan sisa kantuk yang masih menguasai mata.
Kepalaku berat, mata dan tubuh pun panas, seperti ada bara yang membakar sekujur badan. Ngilu menyerang tulang belulang hingga membuatku rebah kembali di tempat tidur. Diam sejenak, berbaring memandang langit-langit kamar sembari berupaya mengumpulkan tenaga agar bisa kuat untuk bangun. Gagal. Badan sakit semua, rasanya aku tak sanggup untuk berangkat sekolah pagi ini.
Tubuhku kaku, tegang, jantung berdetak kencang tak beraturan, napas memburu. Aliran darah mengalir deras dan panas. Lambung terasa kembung, disusul dengan rasa mual, ingin muntah dan perasaan menjadi kacau. Tiba-tiba aku kesulitan untuk berkonsentrasi. Aku lupa di mana meletakan ponsel padahal aku harus menghubungi Aulia—sahabat karibku. Aku benar-benar gagal fokus.
Berulang kali aku berupaya keras untuk bangkit dari ranjang, tetapi upaya ini sia-sia. Aku terduduk lagi dan sakit yang amat sangat membuat tubuh menjadi mati rasa.
“Nahda sayang, bangun. Sudah jam 6.30 ini, nanti kamu telat ke sekolah,” kepala Umi menyembul dibalik pintu. Senyumnya membuat suhu tubuhku sedikit turun.
“Umi, badan Nahda sakit semua.” Keluhku, masih berbaring terlentang, tegang.
“Astaghfirullah. Dadanya sakit lagi?” Umi bergegas menghampiriku. “Ya Allah, tubuhmu panas sekali, Nak.” Dengan gesit ia mengambil thermometer dan membuka selimut yang membungkus tubuhku.
“Nggak begitu sesak, Mi. Cuma badan, Na, aja yang sakit semua.” Suaraku terdengar lemah. Aku tak kuasa untuk menggerakan tubuh.
“Kamu demam, Nahda. Abiii ….” Pekik Umi panik.
“Ada apa?” tanya Abi setengah berlari masuk ke kamar sambil memakai dasi.
“Nahda demam tinggi! 43 derajat Celsius!” seru Umi menunjukan thermometer pada Abi. Sepasang bola mata biru langit Abi mendelik terkejut mengamati thermometer yang disorongkan Umi di depan matanya.
“Astaghfirullahal’azhiim.”Abi langsung memeriksa tubuhku, lalu berkata: “Kita ke rumah sakit sekarang.” Tegasnya.
Aku tak bisa menolak lagi karena suaraku hilang, tenggorokanku terendam lara yang amat menyakitkan, kelopak mataku bengkak, ada banyak airmata yang tertahan di sana, sepasang mata biru langit ini tak mempunyai kemampuan untuk menderaikan airmata.
“Umi gantiin baju Nahda dulu.” Kata Umi. Abi keluar memanggil asisten rumah tangga kami.
“Mbak, bantuin Ibu ambilkan air hangat untuk Nahda. Ia sakit dan mau dibawa ke rumah sakit.” Kudengar suara Abi memberikan perintah pada Mbak Isa.
“Non Nahda sakit lagi?” Mbak Isa bertanya di muka pintu sambil membawa baskom berisi air hangat.
“Iya, mbak. Sini airnya. Kita lap badanmu dulu ya, Nak.” Aku hanya mengangguk pasrah. “Mbak tolong siapkan baju salin Nahda. Oya, nanti tolong rapikan kamar Nahda ya, mbak.” Kata Umi lagi sambil memakaikan pakaian padaku.
“Siap, Bu. Ya Allah, kenapa tubuh, Non Nahda jadi kaku seperti kena strok begini?” ujar Mbak Isa cemas memandangiku.
“Nggak tahu, mbak. Rasanya nyeri semua tulang Nahda,” sahutku. Mbak Isa menatap prihatin. Aku melihat mata lugu Mbak Isa berkaca-kaca, aku iri melihat mata basahnya.
“Pakai jilbab ini saja ya?” Umi menunjukan jilbab instan padaku. Aku mengangguk.
Mbak Isa membantuku untuk duduk mengenakan jilbab.
“Sudah siap?” tanya Abi.
“Sudah. Abi sudah telepon ke sekolah Nahda?” tanya Umi sambil memapah tubuhku.
“Sudah. Sini Abi gendong.” Abi langsung mengangkat badan kurusku menuruni tangga ke lantai bawah.
Sebentar saja aku sudah sampai di halaman dan Abi sudah mendudukanku di bangku belakang di temani Umi.
Dengan kecepatan yang lumayan tinggi Abi melajukan mobilnya membelah jalan kota Bandung, menuju ke rumah sakit tempat Abi bertugas sebagai Direktur rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota Bandung. RS. Tirta Kencana. Klakson mobil seolah makian yang tak terkendali ketika memasuki kawasan padat lalu-lintas.
Rasa sakit disekujur tubuh ini benar-benar membuatku tak berkutik. Aku berbaring pasrah di pangkuan Umi, diam sembari membayangkan betapa jenuhnya tinggal di rumah sakit untuk waktu yang tak pernah tahu sampai kapan.
Kudengar helaan napas Abi ketika mobil mulai memasuki gerbang rumah sakit. Abi langsung menuju instalasi gawat darurat. Kedatangan kami sudah di tunggu oleh satpam dan perawat jaga di depan pintu instalasi gawat darurat, lengkap dengan brankar yang telah disiapkan untukku.
“Umi sudah telepon Zahra?” Abi berbicara pada Umi sebelum keluar dari mobil.
“Sudah, Bi. Zahra lagi di jalan.” Kata Umi membantuku untuk duduk.
“Perawat, tolong dekatkan brankarnya.” Panggil Abi kepada dua perawat yang mendorong brankar ke depan pintu mobil.
Abi menggendongku keluar dari mobil dan langsung dibaringkan dibrankar.
“Pak Satpam tolong parkirkan mobil saya,” kulihat Abi menyerahkan kunci mobil pada satpam rumah sakit.