TRAUMA

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #5

5. Alexithymia State

Tante Zahra mengeluarkan sesuatu dari kantong besar yang ia bawa sedari tadi, menyodorkan sebuah lukisan abstrak padaku yang hanya kutanggapi dengan dingin saja, lalu tante memutarkan sebuah musik mellow melalui ipad dan diperdengarkan padaku.

Flat. Tak ada reaksi yang bisa kugambarkan secara ekspresif, untuk tersenyum pun sulit, apalagi menangis. Aku memilih mematung.

Lalu aku berkata lantang, “Hanya satu suara yang selalu menyenandungkan kalam Ilahi yang bisa membuat Nahda tergugah, suara itu milik Arusha.”

“Komplikasi yang unik dan aneh. Tapi ketika lahir Nahda menangiskan, Kak Hanim, Kak Zadi?” tanya dr. Novan yang berkali-kali memperbaiki letak kacamatanya. Mungkin ia bingung melihat kondisiku.

“Tangis yang kencang, Van. Tapi hanya sekali itu saja, selanjutnya ia jarang menangis, sekali menangis hanya sebentar dan hanya sedikit airmata yang ia keluarkan. Dan semenjak ia berusia 5 tahun, ia nyaris tak pernah menangis lagi. Hanya dengukan serupa isak yang tertahan yang selalu terdengar.” Ucap Umi merunduk sedih.

“Dari kemarin, Nahda mau tanya. Alexithymia State itu apa? Apakah sama dengan PTSD?” tanyaku tak memperdulikan kesedihan Umi.

Alexithymia merupakan gangguan penyakit psikologis yang mana pasien tidak mampu mengenali dan mengungkapkan perasaannya, pasien juga mengalami kondisi non-sentimental. Pasien kesulitan merespon perasaan orang lain. Alexithymia dibagi menjadi dua, Alexithymia Trait dan Alexithimia State.” Urai dr. Novan.

“Dan, Nahda kena Alexithymia State? Lalu apa bedanya dengan PTSD?”

“Iya. PTSD itu bagian dari Alexithymia State, Nahda. Penyakit ini bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.” Lanjut dr. Novan specialis kejiwaan.

“Berarti Nahda bisa sembuh ya?” aku berusaha menghadirkan senyum melalui sorot mata, manakala dr. Novan mengangguk tegas, memberikan jawaban atas pertanyaanku.

“Bisa. Tapi butuh terapi yang intensif. Biasanya orang yang mengidap Alexithymia State baru saja mengalami peristiwa yang mengerikan atau personal traumatic stress disorder yang disingkat dengan PTSD, akibat peperangan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan tekanan-tekanan mental.” Kata dr. Novan lagi sambil memandangiku dan orangtuaku bergantian.

“Nahda tak pernah mengalami semua itu!” perkataan Umi serupa sebuah pembelaan diri.

“Kami menjaganya dengan sangat baik, penuh kasih sayang,” sambung Abi cepat.

“Bila Nahda kecil tak pernah mengalami semua trauma itu, mungkin semasa Kak Hanim hamil mengalami peristiwa yang membuat kakak trauma sehingga janin ikut mengalami apa yang di alami ibunya?!” aku puas mendengar pertanyaan dr. Novan, pertanyaan yang sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan namun selalu gagal.

Seketika aku melihat paras Umi pucat pasi, Umi membuang wajahnya. Lama ia terdiam, berusaha menyembunyikan kegugupan, tetapi gerakan tangan Umi yang meremas-remas ujung baju yang jatuh di pahanya membuatku curiga.

Setelah beberapa lama, akhinya Umi menjawab: “Rasanya saya tak pernah mengalami trauma apapun ya, Bi?” Abi mengangguk ragu. Mata Abi berlari menjauh dari persinggahan mata kami.

Kuhujamkan tatapan tajam pada Umi dan Abi seraya berkata: “Tapi kenapa Nahda selalu bermimpi tentang peperangan, bom, tembakan dan tangis ketakutan. Bahkan Nahda bisa melihat semburan merah membasahi perut Umi. Itu sebenarnya apa? Bila itu hanya sebuah mimpi, kenapa harus berulang-ulang Nahda alami dari kecil hingga kini? Ada apa ini sebenarnya?”

Meski nada suara yang sedikit ditekan tapi tetap saja aku gagal mengekspresikan emosi. Penyakit ini sungguh menjengkelkan dan membuatku lelah.

Lagi. Untuk kesekian kalinya mata batinku menangkap bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh orangtuaku. Tante Zahra dan dr. Novan pun tampak kesulitan menjawab semua pertanyaanku.

“Belakangan ini pun, Nahda sering mendengar sebuah bisikan yang belum begitu jelas. Cuma sepotong kalimat yang bisa Nahda tangkap.” Kataku.

“Apa?” tanya semuanya serempak.

“Andalusia.” Semua saling pandang dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Begitu pula aku, pikiran menenggelamkanku ke dalam banyak prasangka yang tak berkesudahan.

“Terapi apa yang harus diberikan kepada Nahda, Van?” tanya Abi.

“Menghapus trauma yang ia alami, caranya bisa dengan mendatangi kembali tempat-tempat yang ia lihat di dalam mimpi-mimpinya, dengan cara itu perasaan hatinya akan menjadi lega.” Jawab dr. Novan.

“Apa tak ada cara lain, Van? Rukhiyah misalnya.” tanya Umi khawatir. Tante Zahra dan dr. Novan mengabaikan pertanyaan Umi. Mereka berdua asyik berdiskusi.

“Nahda nggak mau di rukhiyah. Nahda bukannya kerasukan jin.” Aku menyela cepat.

Lihat selengkapnya