Yerusalem, September 1996.
“Assalamualaikum,” sebuah suara empuk, ramah dan hangat membangunkan tidurku.
“Wa’alaikumussalam. Arusha, ganteng sekali. Mau ke mana?” tanya Umi, lalu aku merasakan sebuah tangan kecil memeluk pinggang Umi.
Eehm … Aku kenal sentuhan tangan ini. Aku membuka sedikit mata, tersenyum seraya menghirup harum dan segarnya parfum yang di pakai Arusha.
“Kata Madre kita mau jalan-jalan ke Masjid Al-Aqsa, sama Padre dan Om Zadi juga.” Celoteh Arusha dengan suaranya yang khas.
“Oh iya, Tante lupa. Om Zadi masih ke bandara sama Padremu, membeli tiket untuk kita pulang ke Spanyol. Sambil menunggu Om Zadi pulang ke sini, Tante ingin mendengar muraja’ah Arusha dulu.” Bujuk Umi yang mungkin sedang menggiring Arusha untuk duduk.
Aku bersorak kala Arusha menyanggupi permintaan Umi. Aku suka sekali mendengar suara Arusha kala ia menyenandungkan kalam Ilahi. Suara yang merdu, empuk, membuatku menjadi tenang dan tentram, biasanya aku akan memberikan reaksi kepada Umi dengan menggerakan kakiku secara halus dan lembut sebagai tanda kegembiraan hatiku. Namun bila aku berada dalam ketidaknyamanan, aku akan bergerak kuat dan menendang dengan keras sebagai reaksi ketakutanku.
Tepat ketika Arusha menyelesaikan muroja’ahnya, Abi dan Ayahnya Arusha pulang.
“Dapat tiketnya, kak?” tanya Umi.
“Alhamdulillah, dapat. Besok pagi kita pulang ke Spanyol.” Ujar Abi.
“Padre, sebelum pulang ke Spanyol kita jalan-jalan ke Masjid Al-Aqsa dulu ya,” pinta Arusha pada Ayahnya.
“Masjid Al-Aqsa? Kira-kira aman nggak, Zad, kita ke sana?” tanya Ayah Arusha pada Abi.
“Belakangan ini, Al-Aqsa kan memang di jadikan lokasi wisata oleh Israel. Israel sengaja membuka terowongan menuju Masjid Al-Aqsa untuk memikat para turis. Mungkin aman, tapi agak nggak nyaman juga, soalnya pasti banyak tentara zionis Israel yang berjaga-jaga di sana.” Aku suka sekali mendengar Abi berbicara, beliau cerdas dan bijaksana menurutku. Wawasan Abi sangat luas, semua orang suka berdiskusi dengan Abi terlebih Umi.
Mendengar cerita Abi tentang Masjid Al-Aqsa perasaanku seketika menjadi tak enak, jantung berdegup kencang dan aku mencium aroma amunisi, bau asap dan bau anyir darah.
Namun Arusha terus memaksa ayahnya untuk tetap pergi ke sana, meski Abi telah menjelaskan situasi di komplek Al-Aqsa. Keinginan Arusha di dukung oleh ibunya serta Umi yang juga telah lama memendam keinginan untuk pergi melihat masjid bersejarah yang pernah di kunjungi oleh Baginda Rasulullah saat beliau melakukan Isra Mi’raj, begitulah cerita yang kudengar dari Abi.
Aku membunuh kecemasanku dengan rasa penasaran ingin mendengar cerita sejarah Abi tentang masjid tersebut. Biasanya sepanjang perjalanan Abi akan bercerita kepada Arusha tentang apa yang dilihat dan di tanyakan Arusha.
Tapi berbagai aroma itu belum mau enyah juga dariku.
Akhirnya permintaan Arusha, ibunya dan Umi di setujui oleh Abi dan Ayah Arusha. Kami semua pergi mengunjung tempat suci yang bersejarah tersebut.
Saat kami keluar dari hotel. Indera penciumanku semakin aktif mencium bau mesiu dan bau amis darah. Aku menggeliat gelisah, ingin rasanya aku bicara dan melarang Umi agar jangan pergi ke Aqsa. Tapi aku bisa apa? Geliatan tubuh mungilku pun hanya di tanggapi Umi dengan usapan lembut dan sholawat.
Umi hanya berbisik lirih padaku, “Semuanya akan baik-baik saja, Nak. Kamu yang tenang ya. Jangan buat Umi sakit.”
Aku tak berkutik lagi. Melipat kaki dan bersandar ke dinding rahim, aku pun berdoa yang sama, berharap segala kebaikan serta keselamatan. Meski aroma-aroma itu terus mengganggu jalan pernapasan.
Dan …. Braaak!