Bandung, Januari 2004.
Ruh rewani meloncat lagi pada esok harinya. Aku melihat Nahda kecil tengah mematut diri di depan cermin, Eyang Mama dan Umi memutar-mutar tubuhku yang dibalut gaun panjang semata kaki berbahan sutra berwarna ungu, berlengan pendek dan sebuah pita selebar tiga jari melilit pinggangku di permanis dengan korsase bunga mawar berwarna senada. Sementara rambut panjangku yang hitam ikal mayang dan lebat dibiarkan tergerai. Tante Zahra, adik kandung Umi menambahkan bandana berwarna nila di kepalaku.
“Subhanallah cantiknya keponakan Tante. Bidadari dari Spanyol,” puji Eyang dan Tante.
Hei, kejutan. Ternyata dulu aku masih bisa tersipu dan tersenyum tipis. Berarti aku pernah mempunyai emosi meski tak begitu ekspresif. Ruh rewani berseru bahagia ketika ia melihat ada jejak senyum pada masa laluku.
“Blasteran Spanyol-Sunda.” Kata Umi mengecup pipiku.
“Senyum dong, biar lesung pipinya terlihat.” Tante Zahra mencubit hidungku. Aku tertawa kecil sembari berkelit menghindari cubitannya.
“Ayo, kita keluar. Biar Abi sama Eyang Papa melihat.” Eyang Mama menuntunku ke luar kamar menuju ruang tengah.
Hari ini aku mendapatkan begitu banyak pujian bukan hanya dari keluarga saja, tetapi dari tamu-tamu yang hadir. Banyak sekali tamu yang hadir di hari istimewa ini, teman-teman sekolahku, tetangga-tetangga hingga anak-anak dari rekan-rekan kerja Umi dan Abi.
Bahagia. Tentu saja aku bahagia, aku benar-benar menjadi seorang putri hari ini.
Princes Of Andalusia, begitulah Abi memberiku gelar hari ini. sebuah senyum tipis dan samar tersungging dibibir merahku, cukuplah untuk memamerkan dua lesung yang menghiasi pipi putih kemerahan.
Acara berlangsung meriah dan lancar, meski aku sempat sembunyi di balik punggung Umi ketika lilin di atas kue blackforest yang bertabur parutan coklat serta cerry merah di nyalakan. Tiba-tiba aku teringat letupan api yang keluar dari senapan laras panjang saat peluru telah melesat keluar dari leher senapan.
Aku menahan napas selama lilin menyala, kewaspadaan menggenggam erat jantung agar tak lepas akibat degupan yang kencang melebihi denyut normalnya.
“Kenapa sayang?” tanya Umi.
“Nahda takut, Mi.” Bisikku lirih dengan wajah yang mulai kaku.
Ternyata aku juga punya rasa takut. Seru ruh rewani dalam pengembaraannya ke masa lalu.
Umi segera merangkulku dan mengatakan, “Nggak usah takut, Nak. Ini hanya api kecil kok. Ayo tiup lilinnya.”
Kutarik napas panjang dan segera meniup dengan kuat api kecil tersebut, kemudian ketakutan pun padam bersama padamnya api pada lilin berlogo angka 7 di atas blackforest.
Alhamdulillah. Gumamku dalam hati.
Kala Ilham—teman akrabku di sekolah—tengah menyanyikan sebuah lagu anak-anak yang berirama ceria sambil berjoget-joget bersama teman-teman yang lain, tanpa sengaja kaki Ilham menginjak balon yang tengah di genggam erat oleh Deva hingga pecah.
Dor ….
“Nah, pecah balonnya,” teriak yang lainnya. Ada yang terkejut, ada juga yang tertawa gembira oleh kejutan tersebut.
Dan aku. Berlari tunggang langgang, panik, takut sambil berteriak histeris. Phobia menyerangku secara tiba-tiba tanpa mengenal ampun.
“Umiii, ada bom, ada bom. Lariii ….” Aku berteriak panik, berlari menaiki anak-anak tangga, lalu masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan diri dibalik pintu.
Aku terduduk dengan kedua tangan yang gemetar meremas kuat ujung gaun. Tubuhku mendadak kaku, tegang, leher terasa sulit untuk digerakan, bibir gemetar membiru dan sepasang mata biru langit panas membara. Ada didihan airmata yang terbendung di kelopak mata.
Beberapa selang waktu kemudian tapak-tapak kaki melangkah cepat susul menyusul masuk ke kamar sambil tertawa, mereka pikir aku sedang melucu, padahal aku ditikam oleh trauma yang amat sangat menyiksa.
Aku duduk meringkuk dibalik pintu memeluk lutut. Jantung serasa mau copot, saking kencangnya detakan. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh yang gemetar dan tegang, aku persis seperti kucing yang kejebur di kali.