Setelah dokter melepas infus di tangan dan keluar dari ruangan, aku bergegas turun dari ranjang, meminta handuk kepada Umi, lalu segera melesat ke kamar mandi. Aku juga tak tahan dengan aroma yang keluar dari badan sendiri yang lebih dari empat hari tak tersentuh air. Mungkin hanya dokter yang sanggup bertahan dengan bau badan yang menguar dari tubuh pasien-pasiennya yang tak boleh bersentuhan dengan air.
Ada kesejukan tatkala air dari shower menembus tempurung kepala masuk ke dalam otak hingga mengalir ke hati. Syaraf-syaraf tubuh yang tegang dan kaku pun terasa rileks kembali. Aku sengaja berlama-lama dibawah guyuran air, kalau seumpama ada bathup mungkin aku sudah merendam kan diri di dalamnya.
Aku harus sembuh!
Kata-kata itulah yang terus kutanamkan dalam pikiran sadar dan bawah sadar. Aku sudah lelah, tak sabar ingin menyudahi semua ini dan secepatnya melepaskan diri dari trauma ini. Bila Umi dan Abi tak mau cerita tentang peristiwa apa yang terjadi ketika aku berada dalam kandungan sehingga aku mengalami emotional numbness, maka aku akan mencari tahu sendiri. Apapun caranya.
Aku sangat yakin sekali semua yang menimpaku ada kaitannya dengan Umi. Pasti Umi yang pernah mengalami langsung trauma ini dan aku mendapatkan bagiannya. Umi dan Abi pasti tahu tentang Arusha, tentang peperangan yang terjadi di Masjid Al-Aqsa.
Mungkin benar apa yang dikatakan dr. Novan. Aku harus mendatangi tempat-tempat yang pernah membuatku trauma. Bisa jadi, mimpi-mimpiku adalah petunjuk jalannya.
Aku membatin, membulatkan tekad: Aku harus pulang ke Cordoba, mungkin Abuelo bisa membantu dan menemaniku dalam perjalanan. Aku akan pergi ke Yerusalem untuk membuktikan kebenaran mimpi, bahwa tragedi itu memang benar-benar pernah ku alami sebelum ini.
Pikiranku sibuk mengumpulkan banyak dugaan serta kemungkinan-kemungkinan cara yang bisa ku ambil sebagai langkah ikhtiar untuk kesembuhan.
“Na. Kenapa lama sekali mandinya?” ketukan dan suara cempreng Umi membuatku terkejut. Saking cemprengnya suara Umi, derasnya kucuran air dari shower pun kalah.
“Ini mau sudahan, Mi.” Teriakku dari dalam sembari mematikan kran dan meraih handuk.
“Buruan. Ini ada temanmu yang datang, Nak.” Katanya lagi.
Teman? Siapa? Tanyaku dalam hati.
Mungkin Yurike dan Aulia. Siapa lagi kalau bukan mereka berdua. Selama ini cuma Yuri dan Aulia saja yang mau berteman dengan cewek aneh sepertiku. Pikirku melanjutkan mengeringkan tubuh, mengenakan pakaian dan jilbab instan.
Hampir semua teman-teman di sekolah menganggapku gila, bahkan ada teman-teman yang mengatakan aku cewek Zombie, Mumi yang kaku, tanpa ekspresi. Setiap hari mereka membully, untung saja emosi ku mati, jadi … ya … aku tak perduli dengan ejekan serta bully-an mereka.
Jangankan perasaan sedih, rasa sakit pun aku tak pernah tahu bagaimana ekspresinya. Paling-paling mereka capek sendiri dan berhenti membully ku.
“Na. Sudah belum?” kali ini suara Abi yang terdengar.
Aku tak menyahut. Buru-buru membungkus rambut yang masih basah dengan jilbab, lalu keluar dengan wajah … yang biasa saja. Datar dan kaku.
“Nahda baik-baik saja?” Abi dan Umi langsung memberondongku dengan pertanyaan serta raut wajah yang penuh kecemasan.
“Iya. Kenapa?” aku berjalan menuju ranjang sambil menyerahkan handuk basah pada Umi. Tak menyadari ada sepasang mata teduh yang memperhatikanku dari arah sofa.
“Umi cemas, khawatir kamu pingsan di dalam.” Sahut Umi, membantuku naik ke ranjang lagi.
“Umi mencemaskan Nahda pingsan, tetapi Umi tak pernah perduli pada derita yang Nahda alami bertahun-tahun.” Ketusku. Mata Umi mendelik.
“Bukan tak perduli, Nak—” aku segera memotong kalimat pembelaan Abi.
“Kalau memang perduli harusnya tak ada rahasia antara orangtua dan anak.” Untuk kesekian kalinya perkataanku membuat kedua Abi dan Umi terdiam.
“Coba lihat siapa yang datang,” bisik Umi seperti sengaja mengalihkan pembicaraan.
Refleks kepalaku memutar ke sebelah kiri, seorang cowok bermata teduh, berparas maskulin dengan parit yang membelah dagu panjang serta bibir yang merah dan sensual seperti bibir seorang gadis.