Cordoba, Agustus 2013.
Aku berdiri di tengah-tengah jembatan Qantharah ad-Dahr. Yang terbentang panjang di atas sungai al-Wadi al-Kabir. Jembatan megah yang menghubungkan antara pusat kota dan daerah pinggiran kota, Secunda. Jembatan yang di bangun pada masa kejayaan Umar bin Abdul Aziz pada abad ke-17 Masehi, berdiri tegak dan angkuh seolah hendak menunjukan kemegahannya. Kekokohan Jembatan Qantharah ad-Dahr seakan tengah menyuratkan pesan tidak ada zaman manapun yang sanggup menandinginya.
Perjalanan ruh rewani bersama sang waktu membawaku ke masa lalu Cordoba.
Kulepaskan pandangan ke langit luas. Menatap senja yang menyepuh awan dengan warna jingga yang mempesona, biasan cahayanya bak emas yang memantul ke sungai al-Wadi al-Kabir. Kumpulan burung berarak beriringan terbang kembali ke sarang, namun aku tetap mematung dengan mata tak berkedip menyaksikan matahari jatuh kepelukan malam.
Aku lelah dengan semua ini, hidup yang selalu di hantui oleh kekelaman masa lalu yang membuatku hampir tak memiliki masa depan lagi. Setiap hari aku hanya berkubang dalam lara dan mimpi-mimpi yang mencekam.
Sayup-sayup kudengar bisikan dari arah bawah jembatan, “Nahda, lompatlah! Aku di sini menunggumu dibawah sini!”
Mataku berputar mencari sumber suara.
“Aku di sini, Nahda. Dibawah sungai. Lompatlah, cepat!” perintah bisikan itu.
Keputusasaan mengepung pikiranku. Penyakit ini benar-benar membuatku jengkel, teman-teman sering membully, menganggapku gila, pengkhayal dan tukang bohong. Bisikan tersebut semakin mendorong keinginan untuk mengakhiri semua tekanan mental ini.
Aku melangkah perlahan ke tepi Jembatan Qantharah ad-Darh. Mataku menunduk mengukur ketinggian antara jembatan dan sungai yang tingginya mencapai 30 meter. Dapat dipastikan bila aku melompat tubuhku akan meluncur cepat dan langsung remuk, tenggelam hingga ke dasar sungai atau bahkan hanyut terseret arus. Kemudian berakhir lah semua penderitaan ini!
Tubuhku sudah ada persis di tepi jembatan, angin senja memainkan pasmina berwarna nude pink. Sejenak kupejamkan mata, lalu terlintas paras ayu Umi yang lembut dan sentuhan hangat yang penuh kasih, mata biru Abi yang menyejukan serta tubuh gagahnya tempatku berlindung selama ini, senyum cantik dan menenangkan milik Tante Zahra, Eyang, Abuelo, Om Dewa, sahabat-sahabat setiaku, Yurike, Aulia, Ziyad dan Guntur.
Haruskah kutinggalkan mereka semua yang kasihnya mengalir tulus tanpa muara?
“Cepatlah, Nahda!” bisikan itu terus menarik tubuhku.
Bisikan tersebut bagiku hampir menyerupai sebuah undangan dan panggilan kematian yang mengabarkan bahwa dunia kegelapan inilah yang akan mengakhiri penderitaanku. Panggilan-panggilan kematian itu terus berulang-ulang seperti sebuah magnet yang menarik kutub pemersatunya.
Kuhela napas berat. Udara di paru-paru mulai menipis, tumpukan embus upas di pelupuk mata terasa memberat. Dadaku mulai kembang kempis seakan siap meledakan tangis, tetapi mata kering kerontang. Tak setetes pun airmata yang jatuh, hanya dengukan kecil yang menyakitkan dada.
Kupejamkan mata dan kembali menarik napas, sekuat tenaga aku berupaya mengisi kembali paru-paruku dengan udara segar dari semilir angin sungai yang naik hingga ke atas jembatan. Gagal.
Dadaku malah semakin berat manakala mataku terbuka dan aku melihat nyata bangunan-bangunan indah di Cordoba telah rata oleh tanah, simbol-simbol kemegahannya telah hancur dan taman-taman yang indah bak di surga berubah bagai neraka. Cordoba, keindahan peradaban yang sempurna kini menjadi padang sahara yang kering kerontang. Hanya tinggal sebatang panjang jembatan tempatku berdiri yang mungkin saja sebentar lagi akan roboh oleh kebuasan bangsa Barbar.
Oh Tuhan, tolong aku. Kutangkap ujung pasmina yang diterbangkan angin untuk menutup wajah agar pemandangan yang menyeramkan itu tak terlihat lagi.
Aku tak sanggup lagi hidup begini. Senja yang indah berubah kelam, hitam. Cordoba kini hanya tinggal cerita yang tak akan sanggup dibaca dalam sehari.
Tidak. Ini bukan mimpi! Ini nyata!
Aku menyaksikan dengan mataku sendiri kehancuran Cordoba. Bangsa Barbar dengan keganasan bak Singa yang kelaparan melahap habis segala isi yang ada di Cordoba.
Kuangkat satu kaki siap untuk terjun ke sungai.
“Hentikan! Jangan lakukan itu, Nahda.” Sebuah suara berat dari seorang lelaki menghentikan niatku untuk terjun.
Reflek, kutoleh samping kiri. Sesosok tubuh tinggi, kurus berbalut gamis panjang berwarna putih dan sorban yang ia kalungkan di bahunya, sayang wajahnya tak begitu jelas sebab malam telah menelan matahari dan kebetulan juga tubuh lelaki itu membelakangi lampu jembatan. Yang terlihat hanya janggutnya yang mulai memutih tampak berkilau tertimpa cahaya lampu.
Mungkin ia seorang kakek tua. Begitulah dugaanku.
“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara serta tubuh yang gemetar. Aku masih berdiri di tepi jembatan.
“Tak penting siapa saya. Yang terpenting adalah keselamatanmu. Dengar baik-baik cucuku, kematian bukanlah sebuah jalan keluar dari semua masalah, kematian memang dapat mengakhiri semua kisah di dunia, tetapi itu bukan sebuah penyelesaian.” Ucapannya membuatku tersudut tak mampu berucap.
Logika mulai bekerja aktif kembali, akal yang selama ini tak mau perduli akan pikiran buruk yang kukembangkan, kembali menjalankan perannya. Lelaki itu berjalan mendekatiku, kini wajahnya tampak terlihat jelas. Wajahnya bulat telur, sepasang pipi tirus di pagari oleh tingginya hidung dengan cuping yang meruncing tajam serta kelopak mata yang dalam seolah menandakan ia seorang pemikir yang jenius, berewok yang tersambung dengan janggut membuat penampilannya bagai seorang syekh yang keilmuannya selebat rambut-rambut di pinggir wajahnya.
Aku seperti mengenal wajah ini, tetapi di mana? Mirip Abuelo, ya … persis sekali dengan Abuelo. Membatin, berupaya mengingat-ingat sosok yang tak begitu asing.
Semakin dekat, aku semakin bisa melihat wajahnya, sorot mata yang pijaran serta kilauannya menyerupai gemintang di langit malam yang biru.
“Saya lelah, kek!” lirihku.
“Kakek paham. Semua jalan menuju Allah itu pasti ada ujiannya. Mulai dari yang berat sampai yang ringan, semua sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing hamba. Lelah, wajar dan manusiawi. Beristirahat adalah solusinya, bukan mengakhiri hidup. Bila telah cukup tenaga, lanjutkan lagi perjalanan.” Kata sang kakek, mengulurkan tangannya, membawaku menjauh dari bibir jembatan.
Hujjah sang kakek begitu kuat, membuatku termenung sembari berusaha mencerna maksud dan arah pembicaraannya.
“Apa yang harus saya lakukan, kek?” pertanyaanku serupa gumaman yang tertelah oleh angin.
“Jadikanlah sholat dan sabar sebagai solusi dari semua permasalahan hidup. Cucuku, ingatlah selama engkau berada di jalan takwa, maka Allah akan mengeluarkanmu dari segala permasalahan hidup. Seperti yang Allah katakan dalam Al-Qur’an surat Ath-Thalaq pada penggalan ayat dua dan disambung dengan ayat tiga. Baca ini biar hatimu tenang lagi dan kamu akan paham tentang makna ujian. Ambil dan bacalah!” Ia mengeluarkan sebuah kitab dari dalam bundelan kain yang dipanggulnya sedari tadi, lalu menyerahkan kitab bersampul hitam itu padaku.
Ragu-ragu aku mengambilnya. Dengan tangan yang masih gemetar dan basah oleh keringat aku mengambil kitab tersebut.
“Apa yang harus saya baca?” tanyaku mengangkat dagu mengarah padanya, lalu beralih pada kitab yang kini sudah berpindah ke tanganku. Aku kebingungan ketika membuka halaman pertama kitab hitam ini tak ada satu huruf pun tertulis di lembaran hitam itu.