TRAUMA

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #10

10. Mati Rasa

Sepagi ini pikiranku sibuk memproduksi begitu banyak pertanyaan tentang Arusha. Apakah ia masih hidup atau sudah mati? Kenapa ia begitu berambisi untuk membawaku pergi menuju ke alam kegelapan.

Kakek berjanggut yang mirip Abuelo selalu mengatakan, kalau pemuda yang kulihat itu bukanlah Arusha yang asli, ia hanya sedang mengaku-ngaku menjadi Arusha untuk mengelabui dan mendapatkanku.

Pertanyaannya. Kenapa Arusha palsu begitu sangat menginginkanku?

Ah, kepalaku sakit memikirkan misteri ini. Kenapa hidupku menjadi semakin rumit seperti ini? Satu masalah belum selesai sudah muncul masalah baru lagi. Satu teka-teki belum terjawab, kini sudah muncul teka-teki baru lagi.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, membuang segala kekalutan. Di muka cermin pada meja rias aku melihat sekelebatan bayangan putih tanpa wajah, kepalanya ditutupi topi dari jas panjang yang ia gunakan. Pada sudut lain di kamar berdiri Arusha, mirip sekali dengan yang sering datang di mimpiku, tetapi Arusha yang ini tak penah memaksaku untuk ikut dengannya.

Sudah satu minggu dia sering muncul, berdiri di sana dan selalu berkata kalau dia datang untuk menjemputku. Ia mengajakku pergi, tetapi tak memaksa.

Astaghfirullahal’azhiim, mereka lagi! Darahku berdesir. Ketegangan mulai terasa menarik paksa otot-otot wajah dan tubuh.

Bergegas menyisir rambut, mengikatnya kebelakang asal ikat saja. Menarik tas dan cepat-cepat keluar kamar, menuruni tangga berlari menuju ruang makan.

Kenapa dia datang sepagi ini? Apakah dia, Arusha? Atau ada makhluk lain yang berusaha mengambil kesempatan untuk membuatku semakin trauma? Pikirku.

Aku duduk tanpa bicara sedikit pun sama Umi dan Abi. Seluruh pikiranku disibukan oleh banyak hal, banyak peristiwa yang berada di luar nalar yang tak semua orang percaya, bahkan Umi dan Abi pun tak pernah mau percaya.

“Nahda mau sarapan roti atau nasi goreng?” tak ku gubris pertanyaan Umi.

Seluruh pikiran masih terpusat pada Arusha dan sosok hantu tanpa wajah. Mataku menatap lurus pada piring kosong yang terbuka dihadapan.

Bagaimana caranya menuntaskan semua misteri ini? aku membatin.

“Nahda!” panggilan Umi dan Abi disertai dengan tepukan lembut tangan Umi di lengan membuatku tergagap.

“Oh iya. Aaaa … ada apa, Mi?”

“Pagi-pagi melamun. Ada apa?” Umi memperhatikan wajahku dengan seksama.

Aku menggeleng membuang wajah ke tangga atas. Kembali untuk kesekian kalinya aku melihat sekelebatan hantu tanpa wajah tersebut berdiri di anak tangga atas, lalu hilang. Kubuang lagi pandangan ke arah lain, menghela napas beberapa kali seraya beristighfar dalam hati.

“Kenapa mukamu pucat? Kamu sakit, Nak?” Abi menempelkan punggung tangannya di keningku.

“Nggak, Bi. Na, baik-baik aja.” Elakku.

“Ya sudah. Kamu sarapan dulu, terus makan obat. Nanti Umi yang antar jemput kamu ke sekolah, mumpung Umi masih libur. Sekalian Umi mau ngomong sama gurumu perihal kamu tak sekolah selama beberapa hari kemarin.” Ujar Umi panjang lebar sambil mengambil piring dihadapanku dan hendak mengisinya dengan nasi goreng.

“Na, nggak suka nasi goreng. Roti bakar aja, Mi.”

“Astaghfirullah, Umi lupa. Tadi subuh kan kamu pesan minta buatin roti bakar ya. Tunggu sebentar ya, Nak. Umi bakarkan dulu rotinya.” Umi senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala.

“Nggak usah, Mi. Nanti telat ke sekolah. Roti biasa aja, oles margarine dan keju aja.” Umi cepat-cepat mengambil keju di lemari es.

“Nah, ini margarine dan kejunya. Sini Umi bantu,”

“Na bisa sendiri, Mi.” Umi kembali duduk di kursinya.

Lihat selengkapnya