Temu keluarga besar Sentosa berlangsung santai.
Aksa Sentosa dan Asmara Diva, istrinya menghirup secangkir teh masing-masing, mengapit dua putra-putri mereka, Rhein dan Rhian yang asyik bermain Nintendo Switch.
Duduk di sofa paling besar yang merapat pada dinding berhiaskan foto-foto Aksa dan Mara bersama kedua putra-putri mereka yang masih kecil di sungai Rhine, Basel, Swiss, Wildan Sentosa dan Mutia Dwiwarni berbisik-bisik mesra. Kedua orang tua Aksa yang senang pelesiran tersebut merencanakan liburan mereka ke Bali. Kemesraan mereka sangat kontras dengan wajah-wajah di foto-foto itu yang menunjukkan wajah Aksa yang tampak kusam, dan Mara yang tampak tertekan. Di side chair, Milo Sentosa dipeluk Lupita Adina yang memeluk dirinya di sandaran kursi yang didudukinya.
Suara Wildan terdengar antusias, “kalau kita ambil zen room di Dewi Ratih, kita bisa stay lebih lama.”
“Tapi, Mutiara Inn lebih asyik, bisa menatap ke sunrise atau sunset langsung dari kamar. Kalau aku sih, lebih suka pemandangan sunset,” kata Mutia menekankan keinginannya. “Kualitasnya juga bener-bener style kita, Pah.”
Seperti teringatkan, Mutia mengacungkan telunjuk pada Aksa, dengan mulut dimanyunkan untuk menambah kepenasaranan. Ia mengangkat paper bag berlogo Saint Laurent di sampingnya, menyerahkannya pada Aksa. “Jadi keingetan... Nih, Mama baru beli jas kantor dari Saint Laurent! Style kamu banget, Aksa.”
Aksa menghelas nafas bosan. “Mam... Mama tahu, aku nggak suka dibeli-beliin baju segala macem.” Aksa menggeleng malas.
Mutia tak mengindahkan ucapan Aksa, ia berdiri menghampiri putra sulungnya itu sambil langsung memantaskan jas berdesain klasik itu. Tak urung, Aksa patuh pada ibunya.
“Sekarang, kamu benar-benar seperti mendapat sentuhan tangan wanita.”
Semua mata langsung melirik wajah Mara yang masam dengan wajah tak senang mendengar ucapan Mutia. Suasana makin tak enak, saat Milo berdiri melepaskan pelukan Lupit, lalu menaruh cangkir teh kosong di meja. Milo menepuk pundak Aksa. “Tapi, elo masih tetap mirip junky, sekalipun baru pulang dari Switzerland.”
Aksa menghela nafas enggan, tapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang pucat, mengharapkan kalimat yang lebih buruk dari mulut adiknya yang suka usil itu.
Milo meraih poci teh, menuangkannya ke cangkirnya yang kosong. Sepertinya, dia bisa merasakan tatapan dingin dari Mara. Ia mendengus, sambil lalu mengacungkan cangkir ke arah foto-foto Aksa dan Mara yang tampak kurang bahagia, lalu menghirup tehnya.