Aksa duduk main catur pada iPad di tempat tidur. Mara duduk di sampingnya membaca surat wasiat dan mengamati empat foto itu di tangannya. Tiba-tiba, ucapan Rehan kembali terngiang di telinganya. “Aku tidak pernah berubah, Mara.”
Mara memalingkan wajah. Beberapa saat kemudian, dia menyimpan surat wasiat dan foto-foto itu ke dalam laci nakas. Lalu, berbaring memunggungi Aksa.
Aksa melirik padanya. Merasakan perasaan tak enak, matanya meneleng, ia pun mendengus. “Kamu nggak pernah ada apa-apa sama teman lamamu itu, kan?”
Tak ada jawaban.
Kening Aksa berkerut. Aksa menekan tombol “forfeit game”, lalu menaruh iPadnya. “Kenapa diam? Apa yang kamu sembunyikan?”
Mara tetap dia. Aksa menarik lengannya. Mara berbalik setengah badan.
“Mas apa, sih, ah?”
Aksa mengamati wajah Mara, yang glowing.
Sambil mendengus, ia menunjuk ke wajah istrinya, “kamu bilang aja, kalau ada kenangan istimewa sama notaris itu! Siapa lagi namanya?”
Mara bangkit dari tempat tidurnya.
“Hey! Kamu mau ke mana!?” kata Aksa heran.
“Ambil susu!”
Aksa mencoba mengingat nama Rehan. Mulutnya melafalkan nama “Rihan”, “Raihan” dan “Rehan” dengan tanda tanya di kepala.
Tiba-tiba, air mukanya mengeras.