Mara terisak di telepon. Pada phone car holder, tampak Citra Ayudhita dengan wajah cemas. “Kamu ke rumahku sekarang! Cepetan! Kita solusikan semuanya bersama-sama!”
“Nggak, aku sekarang mau ke Indramayu, Cit. Aku mau survey tanah hibah itu.”
“Itu bisa kita urus bareng-bareng besok!” kata Citra tegas.
“Nggak, Cit... Aku mau pergi malam ini. Sendiri.”
Citra menggeram. “Malam ini, OK! Tapi, jemput aku dulu sini!!”
Lima belas menit kemudian, Mara sudah muncul di depan apartemen Citra.
Mara membukakan kaca jendela mobil sambil memberi kode “ayo, masuk”.
Citra memaku barang sebentar dengan muka masam. Ia membuka sport bag yang diselendangkan di pundak, lalu menyeret koper. Citra membuka pintu belakang, menaruh koper dan sport bag. Lalu masuk pintu depan, duduk di sebelah Mara dengan mata mendelik.
“Aku paling benci pergi tanpa rencana.” katanya.
Tanpa sahutan, mobil itu dijalankan oleh Mara.
Mobil itu melesat di jalan tol, memasuki wilayah Indramayu. Citra menceritakan bagaimana ia mendapatkan hibah warisan dari Kanya Qomariah. Perlahan, lagu The Way dari Fastball terdengar melantun di sela-sela suara Mara.
“...Mas Aksa, sih maunya tanah ini dijual aja... Dia sering bilang, pengen istirahat dulu dari kerja barang beberapa tahun.”
“Oh, gitu... Jadi, semuanya buat dia. Gitu?! Huh!? Kenapa kamu nggak nyari investor buat bangun bioskop sesuai pesan almarhumah? Lokasinya, kan udah OK... Kalau Mas Aska gak mau bantu, barangkali Rehan mau,” katanya sambil mendelik kesal.
Mara membuang wajahnya ke luar jendela mobil.
“Anyone can see the road that they walk on is paved in gold... And it's always summer, they'll never get cold... They'll never get hungry, they'll never get old and gray…”
Citra mengerti, kenapa Mara memilih no comment. Keduanya jadi seperti meresapi lirik lagu itu, membiarkan percakapan menggantung begitu saja. Mobil melesat menembus keremangan malam, tanpa rintangan.
30 menit kemudian, mereka tiba di sebuah hotel. Mereka masuk memesan kamar di meja resepsionis. Seorang bellboy mengantar keduanya ke sebuah kamar dengan mendorong trolly berisi koper-koper mereka. Bellboy itu pergi menutup pintu dari luar setelah memastikan tidak ada lagi yang perlu ia bantu.
Mara membuka-buka ponselnya, mengharap pesan dari Aksa. Tapi, tidak ada. Dia melemparkan ponsel itu ke atas kasur. Mara menyusul melemparkan diri ke kasur. Setengah menoleh, Citra menghela nafas sebal. “Shit,” kata Mara.
“Kenapa?”
“Kartu Pak Sholeh… Aku yakin tadi aku bawa kartu namanya Rehan sama Pak Sholeh juga,” kata Mara menggeram kesal.
“Jadi, kamu nyeret aku jauh-jauh ke Indramayu tengah malam gini, dengan maksud survey tanah, tanpa membawa alamat yang harus dituju?” kata Citra sambil berkacak pinggang.
“Aku bisa tanya Rehan besok, kan?”
“Ide bagus! Kamu undang dia ke sini aja, sekalian pedekate. Waktunya kamu bahagia, Mar!”
Mara berdecak. “Kamu ini... Rumah tanggaku aja belum jelas nasibnya, malah nyuruh ngancurin rumah tangga lain lagi.”