Traumatic Labyrinth

Revia
Chapter #3

Rasa bersalah

Tangannya tidak menggenggam apa pun selain tongkat. Tidak ada ketakutan di wajah, meski aku telah menghajarnya hingga babak belur. Hanya saja luka pada tubuh lainnya, darimana asalnya?

Bertumpu pada tongkat. Num’a memandangku keji.

“Cih”

Ah, dia tidak menyukai kehadiranku, tapi bukan salah otaknya mendeskripsikan demikian menyadari perangaiku menumbuk hati dan tubuhnya.

Meski aku mengerti kenapa sikapnya begitu, aku tetap tidak sanggup menahan senyum kesalku saat ia bersikap acuh tak acuh.

“Haaah” menghela nafas panjang, aku mencoba menenangkan diri “duduk. Ada hal yang aku mau bicarain sama kamu!” pintaku lembut.

“Gak mau.” bantahnya cepat.

“Temenin aku, makan jajanan ini!” tanganku menunjukkan 2 plastik besar penuh dengan makanan.

Berlawanan dengan kata yang diucapkan, tongkat yang dipegangnya malah disandarkan pada kursi kemudian duduk di sampingku. Tanpa basa-basi tangannya menenggak air mineral yang diperoleh dari salah satu kantung yang aku miliki.

“Cepetan aku mau tidur! Emang kamu gak ngantuk apa.” dia mulai bersikap arogan.

“Paman, aku cuman mau bilang maaf, Rania udah cerita semuanya” ucapku lirih.

“Gak papa lagian lukanya udah gak separah waktu itu”

Wajahnya memang nampak sedikit murung, tapi dia mengatakan seperti apa yang telah aku lakukan bukan suatu yang penting. Padahal aku tau kemampuanku, makanya aku bisa tau seberapa besar rasa sakit yang diderita.

“Apa gak papa biarin aku kabur kabur begitu aja?” berlagak tengil namun wajahku tidak berubah sama sekali.

“Aku gak ada niatan buat nginget sesuatu yang nyedihin”

Keikhlasan dalam jawaban yang dituturkan mengherankan. Bagaimana seseorang yang telah mendapatkan luka seperti itu mengatakan hal semudah itu.

“Reifansyah Shaquille dan anakku Rania Nimra”

“Num’a”

“Num’a atau Numa, pa-man?” ledekku.

“Num’a. Ah, juga berhenti manggil aku paman aku masih muda”

Lihat selengkapnya