Setelah pertemuan dengan Lisa pada waktu itu sikap Gavin sedikit berubah ia menjadi lebih dingin. Kegiatan gangnya yang biasa dihadiri olehku pun mulai jarang. Waktu lebih banyak dialihkan untuk sahabatnya.
Bertahan dengan semua dilema yang ada, aku mencoba tidak mempermasalahkan itu semua. Ku biarkan insan yang penuh dengan jiwa liar itu bertindak semaunya suatu saat ketika emosi tidak lagi merajai dirinya dan saat ia masih ingin kembali bersamaku aku meminta kejelasannya dengan semua sikapnya ini.
Pulang sekolah, aku melihat mereka sedang mengobrol bersama sambil tertawa. Teman-temannya memanggil, wajah Gavin sedikit tidak bersahabat denganku, senyuman dingin harus ku telan begitu saja.
“Anum, lama gak keliatan?”
“Hm, apa kalian bersenang-senang?”
“Ya, jelas donk”
“Kamu bisa di sini kalau mau” Gavin berkata sangat pelan. Aku tau ada yang disembunyikannya sampai ia tidak berani menatap atau bahkan menaikkan suaranya.
Tawa Gavin kembali seperti sedia kala saat ia bermain bola sayangnya tidak bertahan lama karena bola yang mereka mainkan kempes. Aku yang duduk di tepi lapangan hanya memandang mereka menunggu mereka memberi keputusan untuk berlanjut atau berhenti.
“Anum, ambilin bola di gundang belakang donk”
“Emang gak di kunci?”
“Enggak”