Sunyi ...
Gelap ...
Berdebu ...
Hanya terdengar gemericik hujan di luar dari tempatnya kini melangkah sendirian, ditambah dengan suara hentakan sepatunya di lantai gedung yang masih kokoh. Tidak ada siapa pun. Lorong gelap tempat kini menyulam rindu, kini hanya ditemani beberapa lampu remang-remang yang tinggal menunggu kapan mati. Perlahan, dia melangkah, melewati ruang demi ruangan yang masih terisi beberapa kursi dan meja, namun tak tersusun rapi.
Dia terhenti. Suasana yang semula hening, tiba-tiba riuh dari salah satu kelas di sudut lorong. Sesaat dia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, dan tersenyum peuh arti. Kembali melangkah mendekati asal suara, dan berhenti tepat di depan pintunya yang tertutup. Dengan kedua tangannya, dia menarik gagang pintu keemasan secara bersama-sama. Pemandangan berbeda memenuhi kedua matanya. Tampak seorang wanita berdiri di depan dua puluh remaja dengan pakaian seragam sekolah menengah pertama di sana. Di tangan kanannya, sebuah penggaris kayu yang terangkat tinggi. Senyumannya melebar, saat pertanyaannya seputar pelajaran yang dia bawakan, mampu membuat suasana kelas aktif. Beberapa malah ada yang saling berlomba-lomba mengangkat tangan kanan ke atas, dan menjawab pertanyaan. Tawa pun menggema, saat seseorang dari murid itu, salah menjawab pertanyaan. Membuatnya ikut tertawa, sembari terus memperhatikan kegiatan itu dengan kedua mata berbinar-binar.
“Mbak Puri!”
Suara seseorang mengagetkannya. Dia menoleh, dan seketika hening. Pria paruh baya dengan pakaian lusuhnya dan topi hitam, berdiri tidak jauh dari tempatnya kini berdiri. Lentera tergantung di tangan kanannya. Cahaya dari lenteralah yang membuatnya bisa mengenali siapa yang kini mengusik kerinduannya.
“Mbak Puri ngapain di sini sendirian?”
Pertanyaannya berhasil menghadirkan guratan kaget di wajahnya. Dia kembali mengalihkan pandangan ke dalam kelas. Pria itu benar, tidak ada siapa pun di sana. Dia menunduk, menetralkan perasaannya sendiri, lantas kembali menoleh ke pria yang masih menanti jawabannya.
“Pak Min mau ngunci pintu ya?” tanyanya seolah enggan menjawab pertanyaan Pak Min yang tampak mengangguk pelan. “Duluan saja, nanti saya menyusul.”
“Baik, Mbak.”
Pak Min pergi. Dengan ditemani cahaya lenteranya, dia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Puri yang kini kembali mengamati kelas tempat suara tadi berasal. Tersenyum lebar, lantas menggenggam gagang pintu di kedua pintu berbeda. Perlahan menutupnya kembali dan melangkah pergi meninggalkan kesunyian yang sangat dia sukai.
Kini, hanya terdengar suara hujan dari luar, ditambah dengan tapak sepatunya seiring kedua kakinya berjalan. Pergi meninggalkan lorong yang hanya ditemani beberapa lampu remang-remang, dan pantulan cahaya dari luar jendela yang masuk menyinari sudut beberapa ruangan.
BAB 1 – KEMBALI
Seperti biasa, dan tidak pernah berubah. Hujan selalu saja hadir setiap sore menjelang di Kota Tebing Tinggi. Musim hujan memang mulai tiba, namun sama saja. Baik musim hujan, maupun musim panas, hujan tetap saja menemani. Seperti saat ini, saat kereta api[1] hadir di stasiun. Suara klason panjang menandakan kehadirannya, membuat beberapa orang yang menanti, menyingkir agar tidak terkena sambarannya.