Puri berdiri sendirian. Tatapannya nanar ke sebuah makam di dalam pemakaman umum. Keranjang bunga rampai berada di tangan kanannya, dengan sebotol air yang di tangan kirinya. Puri menghela napas panjang, menarik selendangnya yang jatuh dari kepala, lantas kembali melangkah lebih masuk ke dalam pemakaman.
Puri sendirian. Dena yang masih berjualan di rumah, memutuskan untuk tidak ikut ziarah pertama sang anak kali ini. Pembeli yang mengerumininya dengan beberapa pesanan nasi uduk jualannya, membuatnya sedikit kelimpungan. Ingin rasanya ikut menemani, berusaha menguatkan Puri yang pasti sedih bukan main melihat rumah sang ayah saat ini. Rumah yang hanya bisa dikunjungi dari luar, dan belum saatnya masuk ke dalam menemuinya. Puri sendiri paham posisi Dena saat itu. Penjualanannya yang beberapa bulan ini bulan membuahkan hasil lumayan, membuat Dena tidak bisa kemana-mana. Pembeli adalah raja, itulah yang sering dikatakan Dena padanya.
Puri menghentikan langkahnya. Sorot matanya terarah ke dua makam di hadapannya yang saling berdampingan. Tampak gersang, walau ada setangkai bunga mawar merah yang selalu di tancapkan Dena setiap hari jumat. Rerumputan mulai tumbuh di atas permukaan kedua makam. Walau tidak terlalu panjang menjulang, namun tampak risih bagi Puri melihatnya.
Puri melangkah beberapa langkah, berhenti tepat di samping kanan dan kiri kedua makam, lantas menekuk kedua kaki. Berjongkok sembari menarik kembali selendangnya yang jatuh di atas punggungnya.
“Assalammu’alaikum, Ayah, Kak Rania,” sapanya dengan raut kesedihan. Sesaat angin berdesir hangat, seakan menjawab salam Puri saat itu. Puri memejamkan kedua mata, mencoba menahan kesedihan yang hadir tiba-tiba, lantas kembali membuka kedua mata dengan bendungan air di sana. Siap kapan saja terjun bebas membasahi kedua pipi yang tampak merah akibat blush on yang dia gunakan.
“Maaf, Ayah, Puri baru hadir sekarang. Maaf juga saat Ayah pergi, Puri gak bisa pulang untuk ngelihat Ayah yang terakhir kalinya.” Puri menyentuh permukaan tanah makam sang ayah, mencabut rerumputan dan membuangnya ke sisi luar makam, tempat gundukan sampah rerumputan yang belum diangkat petugas makam. “Bukan Puri gak sayang sama Ayah, tapi saat itu ... Puri benar-benar gak bisa hadir. Ayah tau apa yang terjadi, kan?”
Suaranya bergetar. Tangisnya hampir pecah mengingat semua kejadian yang menimpanya saat napas terakhir sang Ayah terjadi. Masih terngiang di telinga, saat Dena menghubunginya untuk mengungkapkan kata-kata perpisahan. Tarikan napas yang terasa menyakitkan didengar Puri, menarik air matanya jatuh tak tertahankan. Cepat-cepat Puri menghapusnya, menarik lendir di hidung dan mencoba tersenyum saat kedua matanya, terarah kembali ke makam sang ayah.
Langit tampak mendung. Beberapa awan hitam kini menemani langit yang sama sekali, tidak di sinari cahaya matahari. Angin kembali berdesir, dan kali ini terasa menusukkan hawa dingin, menerbangkan beberapa helai dedaunan kering yang sudah terlebih dahulu, jatuh dari pepohonan yang ada di tempat pemakaman umum.
Sesaat Puri menarik pandangan ke langit. Dia sadar, hujan akan turun sebentar lagi. Namun rasa rindu yang teramat sangat pada kedua sosok yang kini tertidur tak bangun lagi, membuatnya menetap di tempat semula, menepis keinginan untuk pergi dan kembali menyentuh permukaan kedua makam secara bergantian.
“Sekarang, Ayah gak perlu khawatir, Puri udah balik ke sini, Puri akan jagain Ibu seperti Ayah dulu.” Puri memalingkan arah pandangan ke makam di sebelah kanan, meraba permukaan tanah dan kembali tersenyum seolah-olah bisa melihat langsung wujud dari si pemilik makam.