“Jadi bukan Ibu?” tanya Puri tidak percaya saat menceritakan perihal bunga mawar putih di makam Rania. Rasa penasaran memaksanya untuk bertanya pada Dena yang tampak sibuk membereskan lemari kaca tempatnya meletakkan masakannya untuk dijual. Langkahnya mondar mandir mengikuti langkah kaki Dena. Dari garasi yang kini diubah Dena menjadi tempat makan kecil-kecilan, hingga ke dapur saat Dena meletakkan piring kotor ke tempat cuci piring.
“Bunga mawar putih itu terlalu mahal, Puri, Ibu mana sanggup belinya setiap hari. Lagian, Ibu hanya sempat mengunjunginya setiap jumat pagi, saat jualan Ibu tutup.”
Dena berlalu. Kembali ke depan untuk mengambil peralatan lainnya, meninggalkan Puri yang kini duduk di kursi makan. Ingatannya kembali ke makam Rania yang tadi saat dia datang berkunjung, tampak jelas bunga-bunga mawar putih itu masih segar seakan baru dipetik. Dan semua itu, sebelum Dava datang dengan mawar yang baru.
Dena yang baru saja masuk kembali ke dapur, menatap bingung ke arah Puri yang melamun di meja makan, meletakkan beberapa piring kotor ke tempat cuci piring, lantas mendekati sang anak yang masih saja belum sadar akan kehadirannya. Berulang kali Dena melambai-lambaikan tangan di depan Puri, namun perempuan berbola mata hitam pekat itu tetap saja tidak berkedip. Dena menggeleng, menepuk bahu Puri yang berhasil membuatnya sadar dari lamunan.
“Anak gadis gak boleh ngelamun!” seru Dena sembari tersenyum. “Memangnya ada apa sih, pulang-pulang langsung nanya begituan. Bukannya bantuin Ibu di depan buat beres-beres piring kotor.”
Sesaat Puri ragu, menatap Dena yang masih menunggu jawaban sembari menaik turunkan alisnya. Puri menghela napas panjang, mencoba tetap tenang dan menggenggam kedua tangan Dena dengan senyuman samar di bibir.
“Ibu kenal, Dava?”
Dena mengernyitkan dahinya. Nama yang cukup membuatnya berpikir keras tentang sosok yang disebutkan Puri. Sesaat kemudian, Dena menggeleng yang membuat Puri menghela napasnya.
“Siapa dia, kok Ibu baru dengar namanya? Pacar kamu?”
“Bukan!” jawab Puri cepat, takut jika sang ibu sampai berpikir yang bukan-bukan tentangnya. “Puri juga gak kenal dia siapa. Cuma tadi saat Puri di makam ayah dan Kak Rania, dia di sana. Bawa bunga mawar putih untuk Kak Rania.”
Dena memundurkan tubuhnya, bersandar di kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. Dahinya kembali mengerut yang menandakan bahwa saat ini, dia mencoba memikirkan sesuatu. Sama seperti Rania, yang selalu saja mengernyitkan dahi ketika memikirkan sesuatu hal yang sulit dia ingat. Puri benci kerutan itu.
“Mantan kakak kamu kali,” tebak Dena yang langsung menarik gelengan dari kepala Puri. “Soalnya Ibu tidak pernah kenal orang yang namanya Dava.”
“Mustahil mantan Kak Rania, orang dia usianya gak jauh beda dari Puri.” Dia bangkit, beralih ke rak piring dan mengambil gelas dari sana, mengisinya dengan air yang berasal dari dispenser. Tanpa kembali ke tempat semula, Puri meneguknya hingga habis. “Gak mungkin juga Kak Rania pacaran sama anak di bawah ....” Puri menghentikan kalimatnya. Sebuah ingatan hadir di kepalanya yang langsung membuatnya terlonjak kaget dan kembali duduk di hadapan Dena. Sikapnya yang tiba-tiba itu, jelas membuat Dena kaget bukan main.
“Ibu ingat, dulu Kak Rania pernah bawa pulpen bertuliskan namanya?” Dena memiringkan kepalanya, mencoba mengingat kejadian yang sudah bertahun-tahun lamanya itu. “Itu lho, Bu, yang sering dipakai Kak Rania. Sampai-sampai Puri pernah pinjam sebentar, langsung dimarahi. Puri dipukul habis-habisan. Ibu ingat?”
Dena mengangguk cepat dengan jari telunjuk terarah ke atas. Kedua alisnya naik, tanda dia mengingat sesuatu. Dan lagi-lagi isyarat wajah itu, membuat Puri sesaat terdiam, menahan kekesalan di dalam hatinya.
“Iya, Ibu ingat!” Puri mendengus kesal. “Terus ada apa sama pulpen itu?”
“Apa jangan-jangan Kak Rania memang pacaran sama muridnya sendiri ya, Bu? Soalnya waktu Puri tanya itu pulpen dari siapa, Kak Rania bilang itu dari murid terbaik di kelasnya.”
Dena memukul dahi Puri pelan, yang membuatnya manyun sembari mengusap-ngusap tempat tangan kanan Dena mendarat.