Aku kembali menaruh ponsel di dalam tas. Baru saja kudapatkan info dari grup WhatsApp bahwa beberapa rombongan yang akan mengikuti trip dua negara bersamaku sudah sampai di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Kulirik jam tanganku yang masih menunjukkan pukul sebelas siang. Itu berarti aku harus menunggu selama empat jam lagi untuk masuk pesawat.
“Kira-kira kamu berapa hari di sana, Ren?” tanya Danis yang fokus pada jalan.
Mobilnya sudah masuk ke perkarangan bandara. Terlihat banyak pesawat yang terparkir di Holding Bay.
Aku menoleh dan menjawabnya dengan santai. “Empat hari dua negara.”
“Kenapa tiba-tiba merencanakan untuk liburan ke luar negeri? Kok aku gak tau ya?” sekilas Danis melirikku.
Aku mengerutkan dahi. Sepertinya aku sudah bilang pada Danis kalau aku dan sahabat kuliahku, Medina, akan melakukan trip dua negara di akhir bulan ini. Kami sudah merencanakan rencana ini dari sebulan yang lalu. Bahkan, aku sengaja segera menyelesaikan banyak desain gaun pesta klienku untuk bisa menikmati trip kali ini
“Kamu lupa, ya? Sebelumnya aku sudah pernah cerita ke kamu, kalau aku mau ikut trip dua negara bareng Medina.” Aku berharap kalau Danis dapat mengingatnya.
Belakangan ini hubunganku dan Danis tak begitu baik. Danis mulai sibuk semenjak dirinya menjadi dokter tetap di Jakarta Eye Center. Kami hanya bertemu satu atau dua hari dalam seminggu. Itu pun kalau Danis sama sekali tidak ada janji dengan pasien. Sehingga kami jarang menceritakan kegiatan keseharian kami satu sama lain.
“Kapan kamu ceritanya? Aku gak ingat.” Danis mulai mencari parkiran kosong untuk mobilnya.
“Dua minggu yang lalu. Waktu kita lunch di Paradigma. Saat itu kamu mengangguk setuju dengan rencana aku sebelum kamu dapat telepon dari pasien.” Danis bergeming. Ia fokus pada parkir mundur mobilnya.
“Aku juga sempat ngajak kamu buat ikut trip ini. Tapi kamu menolaknya. Kata kamu, kamu sudah punya jadwal operasi di akhir bulan ini.” Aku menatap sebuah pesawat yang baru lepas landas.
Rasanya aku ingin segera pergi dari hadapan Danis. Semakin hari Danis tak dapat dimengerti. Ego yang terlalu tinggi membuat Danis tak mau dikalahkan.
“Well, kamu tahu kan kalau aku baru saja mendapatkan pengangkatan. Aku sibuk. Gak ada waktu untuk have fun.” Danis mulai melepas sabuk pengaman di dadanya.
Lagi dan lagi. Aku diminta untuk memahaminya. Aku tersenyum lemah. Memilih untuk mengalah. Menghindari perdebatan adalah pilihan yang tepat ketika aku ingin berpergian jauh. Aku akan merasakan sedikit kebebasan ketika sampai di Malaysia nanti.
Kami berdua keluar mobil. Danis membantuku mengeluarkan koper. Satu koper besar cukup untuk empat hari di sana. Sengaja tidak kupenuhi isinya. Karena aku pasti akan berbelanja oleh-oleh untuk keluargaku, pegawai-pegawaiku yang ada di butik, juga beberapa klien penting.
“Medina udah sampai di bandara?” tanya Danis ketika aku sibuk membuka pesan.
“Masih di tol. Katanya mau sampai.” Danis mengangguk kecil.
Kami berjalan masuk ke bandara. Beberapa turis bermata sipit hendak meninggalkan bandara dengan menaiki taksi Silver Bird berwarna hitam. Sekali buka pintu Alphard khusus bandara saja sama seperti harga sebuah nasi bungkus padang. Belum lagi tarif per KM yang mampu menguras dompet apabila jarak rumahmu jauh dari bandara.
Aku memberitahu Danis bahwa pihak travel meminta titik kumpul rombongan di depan KFC. Tak jauh dari pintu check in Gate 3.