Setelah memastikan semua peserta trip dua negara sudah masuk pesawat, Mas Ali segera duduk di barisan depan. Sedangkan Khaibar adalah orang terakhir yang berjalan di lorong pesawat. Matanya bolak balik melihat boarding pass yang ada di tangannya dengan nomor bangku yang tertera di kabin pesawat. Aku mencoba untuk menutup wajahku dengan kain agar tak terlihat olehnya. Di dalam hatiku semoga bukan dia yang duduk di sisa bangku barisanku.
“8C..” gumamnya. Ia berhenti di barisan bangkuku.
Sial. Kenapa harus dia yang duduk di dua samping kananku. Khaibar melirikku sekilas.
“Maaf pak, boleh tukar tempat duduk gak? Saya mau ngobrol sama teman lama saya.” pinta Khaibar pada seorang bapak yang sudah duduk di sebelahku. Tangannya menunjuk diriku.
Bapak itu setuju. Kemudian bapak itu pindah ke sebelah yang seharusnya menjadi tempat duduk Khaibar. Sehingga Khaibar kini duduk di tengah. Aku duduk di dekat jendela pesawat. Sehingga aku tak bisa berkutik untuk pindah. Aku menatap Khaibar tak percaya. Namun, pria itu hanya bisa tersenyum jail padaku.
“Kamu ngapain sih?” tanyaku risih.
Khaibar sibuk merapikan lembar rencana perjalanan di tangannya.
“Yaa kangen kamu lah.” jawab Khaibar tanpa beban ditambah selingan tawa kecil.
Aku mendegus, “Gila kamu, Khai. The last time i met you, aku sangat benci sama kamu. Kamu amnesia, ya?”
“Enggak. Kayak di sinetron aja pakai amnesia segala.” Khaibar menyandarkan kepalanya. Ia sama sekali tidak mengingat kisah cinta kita yang berakhir menyedihkan. Di mana pada akhirnya Khaibar meninggalkanku dan menjalin kasih dengan sahabat perempuannya.
Hatiku kesal setengah mati. Mengapa aku harus memulai liburanku seperti ini? Sikap Danis yang menyebalkan sudah cukup membuat awal liburanku runyam. Ditambah dengan kehadiran Khaibar yang tiba-tiba dan menjengkelkan. Di mana letak kebebasanku?
“Nana, kamu ikut trip ini sendiri?” Aku menoleh pada Khaibar. Panggilan itu. Panggilan sayangnya saat kami berpacaran dulu. Hanya Khaibar yang memanggilku Nana. Bukan Irena seperti Danis.
“Pergi sama sahabat kuliahku. Namanya Medina.”
Sebagai my roommates, Medina mungkin tahu sedikit tentang Khaibar. Itu karena di semester dua perkuliahan aku putus dengan Khaibar sehingga mau tak mau aku galau berkepanjangan dan berhari-hari curhat dengan perempuan itu. Menangisi Khaibar sampai saat terbangun di pagi hari mataku berubah menjadi bengkak. Membuat diriku tak fokus kuliah saat itu.
“Oh, terus teman kamu duduk di mana?” Khaibar mengangkat kepalanya. Mencari seseorang.
“Di depan. Barisan 3E.”
Khaibar mengangguk lalu menatapku.
"Kamu tambah cantik, Na. Sampai pangling lihat kamu di bandara tadi.” Tanganku berhenti ketika hendak membalik lembaran majalah yang disediakan oleh pesawat.
“Jangan gombal deh.” kataku malas. Khaibar terkekeh.