Kami menginap di Hotel Plaza Grand. Letaknya tak jauh dari KLCC. Setiba di hotel aku mendapatkan pesan dari Danis. Pria itu berpuluh kali mengucapkan maaf karena seharian tak merespon kabar. Katanya ada seminar yang harus ia datangi hari ini. Di mana ia harus menjadi narasumber di seminar kesehatan tersebut sehingga Danis tak sempat menelpon bahkan membalas pesanku.
Malam itu, kami melakukan video call seperti biasanya. Sesekali aku membalas perkataan Danis karena terlalu lelah seharian ini berjalan menelusuri beberapa tempat. Ia juga mengomentari foto-foto liburanku yang telah kuunggah ke sosial media. Danis menyesal karena ia tak bisa ikut berlibur bersamaku. Tapi, di lain sisi aku bersyukur Danis tak ikut trip dua negara ini. Dengan begitu Danis dan Khaibar tak bisa bertemu.
Bagaimana aku bisa menjelaskan pada Danis kalau akhirnya aku menghabiskan empat hariku di dua negara ini bersama mantanku.
“Kira-kira hari Sabtu nanti kamu tiba di Jakarta jam berapa, Ren?” tanya Danis sambil menguap. Tampaknya ia juga sudah lelah.
Aku berpikir untuk mengingat jadwal. “Kemungkinan malam. Sekitar jam sepuluhan.”
“Ok. I’ll pick you up on Saturday night.” Danis melambaikan tangannya di sebrang sana.
Aku ikut melambaikan tangan untuk mengakhiri percakapan kami. Kulihat Medina sudah tertidur pulas mengingat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam waktu Malaysia. Sedangkan di Indonesia masih pukul sebelas malam.
Sebelum kuletakkan ponselku di meja, aku membuka pesan WhatsApp dari Khaibar yang sudah tenggelam dengan pesan-pesan temanku yang lain. Ia mengirim pesan sejak kami tiba di hotel. Aku tidak tahu kalau Khaibar mengirim pesan karena aku begitu lama berbincang dengan Danis.
+62 821592xxxxx : Nana, jangan streaming drakor. Langsung istirahat ya. Ur ex, Khai.
Aku mengerutkan dahi. Siapa juga yang mau menonton drama Korea kalau pacar yang kamu tunggu-tunggu malah menelponmu. Tidak ada niat untuk membalas pesan Khaibar, hanya kubaca saja. Kutaruh ponselku di meja samping dan segera memejamkan mata.
***
Paginya, setelah mandi dan salat subuh, aku terlebih dulu keluar kamar. Berniat untuk jalan pagi sekaligus menikmati udara segar di Kuala Lumpur. Kubiarkan Medina yang masih menikmati paginya dengan berendam di bathup. Aku berjalan menuju lift. Menunggu sebentar lalu pintu lift terbuka di depanku.
Aku dan dia sama sama terkejut. Namun, setelah itu Khaibar hanya tersenyum senang. “Jangan-jangan kita jodoh ya, Na?” tanyanya setelah aku sudah berdiri di sampingnya.
“In your dreams!” kataku malas.
Khaibar terkekeh. “Eh tapi beneran loh, Na. Aku pernah mimpi kalau kita berdua menikah. Udah lama sih aku mimpiin itu. Apa itu sebuah tanda ya, Na? Barangkali kita berjodoh di masa depan.”
Ya Tuhan, kenapa lift ini berjalan begitu lambat untuk sampai di lantai satu. Aku ingin cepat-cepat menjauh dari Khaibar.
“Tanda-tanda kamu menghilang ditelan bumi ada gak, Khai?” tanyaku malas.
Khaibar menggeleng dengan cepat. “Gak ada. Adanya tanda cinta aku ke kamu yang pasti masih ada, Na.”
Khaibar menepuk dada kirinya.
Aku menggeram. “Bisa gila kalau aku deket-deket sama kamu terus!”