“Anything you can say about that?”
Aku yang tadinya sedang sibuk membalas pesan dari pegawaiku di butik kini memandang Medina. Wanita itu menunggu jawabanku dengan mata yang berbinar-binar.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Tadi pagi kalian berdua kemana aja, Ren?” Medina memainkan alisnya .
“Cuma jalan pagi di sekitar hotel aja kok. Emang mau kemana lagi.” kataku lalu kembali mengecek pesan di WhatsApp.
“Terus dia ngomong apa aja ke lo?” cecar Medina padaku.
Alisku terangkat. “Kepo banget ya lo, Ceu. Dia bilang minta maaf, oke gue terima.” Medina tersenyum lalu mencolek lenganku.
“So, are you dating with him?” desaknya.
Aku tertawa sumbang.
“Ngaco! Gue kan punya Danis. Masa iya jadian sama Khaibar. Kita cuma baikan bukan balikan. I told him that we just can be friend. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.”
“Ren, open you eyes. Banyak kok artis-artis yang balikan sama mantannya. For example, Beby Romeo dan Meisya Siregar, Christian Sugiono dan Titi Kamal. Kenyataannya mereka bisa hidup bahagia sampai detik ini. Bahkan mereka jarang diterpa gosip.”
Aku tidak menjawabnya. Tetapi, perkataan Medina juga ada benarnya.
Tanpa sengaja aku melirik arah bangku Khaibar di depan. Meskipun wajahnya tak terlihat olehku, tetapi karena pria itu memiliki tinggi badan yang ideal sehingga rambut Khaibar yang hitam masih nampak terlihat jelas dari belakang. Ia menutup jendela busnya dengan tirai. Tak membiarkan cahaya matahari mengganggu penglihatannya.
Namun, aku melihat ada seseorang yang duduk di samping Khaibar. Jelas orang yang duduk di samping pria itu adalah seorang perempuan. Terlihat dari rambut panjangnya. Dapat kutebak siapa lagi kalau bukan Niki. Mau apa perempuan itu duduk di sana.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Tidak mau mengurusi siapa saja perempuan yang sedang dekat dengan Khaibar. Karena itu bukan urusanku lagi. Kami berdua sepakat untuk tidak mengusik satu sama lain. Tidak lebih dari sebatas teman.
Hari kedua di Malaysia, Pakcik Rashid membawa kami ke Dataran Merdeka sebagai tujuan pertama kami. Sekitar pukul sembilan pagi bus sudah sampai di tempat. Paman Ikhsan memarkirkan bus di tepi jalan. Perjalanan terasa cepat dikarenakan di Malaysia memang jarang terjadi macet.
Kulihat Khaibar memotret satu per satu peserta trip yang hendak turun dari bus. Saat giliranku tiba, Khaibar hanya menjepret fotoku sekali tanpa menatapku. Aku melewatinya lalu berjalan mengikuti arahan Pakcik Rashid untuk berkumpul di depan gedung Sultan Abdul Hamid. Sebelumnya Mas Ali sudah menyiapkan spanduk perjalanan trip ini untuk foto bersama. Setelah itu rombongan boleh berfoto bebas.
Medina yang menyadari aku sedang memperhatikan Khaibar pun menyahut, “Katanya cuma temenan, natapnya gak usah berlebihan gitu.”
Aku tertangkap basah.
“Apa sih, Med. Siapa juga yang liatin dia.” kataku mengelak.
Aku tak terlatih menghadapi situasi seperti ini. Tetapi reaksiku menjadi aneh. Aku salah tingkah.
Kini mata kami memandang Niki dan Khaibar yang sedang tertawa bersama.