Bus melaju pelan di jalan tol.
Setelah kami selesai mengunjungi Istana Negara Malaysia, tujuan kami selanjutnya ialah Awana Genting Highland. Kira-kira butuh satu jam perjalanan dari Kuala Lumpur. Genting Highland dapat diibaratkan seperti Puncak di Bogor karena cocok bagi mereka yang menginginkan ketenangan, keindahan alam, dan udara sejuk. Itu disebabkan Dataran Tinggi Genting memiliki suhu antara 15 sampai 22 derajat Celcius.
Lamunanku buyar ketika aku mengingat Danis. Berniat untuk mengabarinya. Aku menatap layar ponselku dengan kening berkerut. Mengapa ponsel Danis masih sibuk? Ke mana saja pria itu sampai siang hari ini Danis belum mengabariku balik?
Sebenarnya inilah yang membuat aku semakin bertanya-tanya. Rasanya di dalam hubungan ini aku yang terlalu mengejar pria itu. Meskipun aku tahu bahwa aku salah sudah memberikan Danis kesempatan lagi.
Aku kembali mendesah berat dan memandang keluar jendela.
“Masih belum ada tanggapan dari Danis?” tanya Medina sambil mengunyah keripik kentangnya.
“Belum.” jawabku singkat. Aku sedikit malas membicarakan Danis.
Medina mengangguk. “Sadar gak sih, Ren, kalau lo yang sering ngehubungin Danis?”
Aku menoleh pada Medina lalu mengangguk pelan. “Sadar.”
“Med, sebetulnya...” kataku menggantung.
Medina memicingkan matanya, “Apa?”
“Danis gak suka kalau kita melakukan trip ini. Selama ini dia juga ngelarang gue buat main sama lo dan teman gue yang lain. Sedangkan gue gak pernah ngelarang dia main futsal sama teman-temannya.” kataku sedih.
Medina memiringkan badannya ke arahku. “Ren, alasan dia ngelarang lo untuk ketemu teman-teman lo apa?"
Aku mengangkat bahu dan memejamkan mata.
“Pantas aja. Dia gak begitu suka kalau gue datang ke butik kalau kalian lagi berduaan. Kemarin juga kan pas di bandara dia cabut duluan saat gue mau sampai. Aneh banget cowok lo itu. Tampang sih boleh dibilang ganteng dan berpendidikan tinggi tapi ternyata sifatnya nol.” kata Medina emosi.
Aku juga ingat pernah sekali Danis memberikan respon negatif pada desainku. Saat itu aku diminta oleh seorang wanita yang kuketahui bahwa ia adalah istri seorang walikota di salah satu kota besar di Jakarta. Wanita itu memintaku untuk mendesain dan membuatkan gaun pesta untuknya. Malam itu Danis menemaniku di butik.
“Kamu sedang apa?” tanya Danis ketika aku sedang sibuk mendesain.
Lalu Danis duduk di sofa panjang yang ada di butik.
Aku menunjukan hasil karyaku padanya. “Bagus gak?”
Danis berpikir sejenak kemudian berkata, “Norak. Terlalu berlebihan. Kamu gak ikut acara Jakarta Fashion Week tahun ini ya?”
Aku mengerutkan dahi lalu menurunkan kertas desainku secara perlahan. Ada rasa sakit hati ketika Danis bicara seperti itu. Perkataannya kasar. Aku kecewa.
“Seharusnya kamu ikut. Jadi kamu tahu style tahun ini seperti apa. Biar kamu gak ketinggalan tren.” katanya tanpa melihat wajahku.
Mata Danis fokus pada cangkir teh hijau yang ada di tangannya. Aku hanya terdiam dan tidak membalas ucapannya waktu itu.
“Kenapa lo masih bertahan sih, Ren?” tanya Medina jengkel. Ia pun tak percaya ketika aku menceritakannya.
“Lo kan paham kalau orang tua gue senang banget pas tahu gue pacaran sama dokter.” kataku lirih.