“Sebenarnya hubungan kalian itu apa?” tanya Niki penasaran.
Aku menelan ludah dengan susah. Berpikir mencari jawaban yang tepat.
“Irena itu mantan aku, Nik.” jawab Khaibar sambil mengunyah.
Aku melototi Khaibar.
“Tapi tenang aja. Hubungan kita sekarang cuma teman kok.” kataku sebelum Khaibar kembali berbicara.
Niki mengangguk lemah lalu menyendok makanan ke dalam mulutnya. Sepertinya Niki sudah menduga hubungan kami. Dilihat dari wajahnya yang tidak terkejut. Aku hanya bisa menghembuskan napas. Rahasia sudah terbongkar.
“Na, kamu bisa ceritain masalah kamu ke aku.” Khaibar menghentikan makannya.
“Kamu gak perlu ikut campur, Khai. Urusan aku bukan urusan kamu juga.”
Khaibar menatapku. “Kamu yakin mau menikah sama Danis?”
Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan Khaibar barusan.
“Nikah?” tanyaku ragu.
Selama ini Danis memang tidak pernah memberiku kesempatan untuk membicarakan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.
“Iya. Aku dengar pembicaraan kamu dan kelompoknya Ibu Ajeng di Dataran Merdeka. Kalian ngomongin masalah pernikahan kan?”
Aku tidak memotong. Menunggu Khaibar meneruskan penjelasannya.
“Na, aku gak yakin Danis itu pria yang tepat buat kamu.” katanya pelan.
Aku pun sempat berpikir sama denganmu, Khai. Hatiku bicara.
“Terus pria yang tepat buat aku siapa, Khai? Kamu?” Aku tertawa menyindir.
Kulihat Khaibar hanya tersenyum lemah lalu melanjutkan makan.
Niki berdeham ketika kami berdua saling diam. “Nasi lemaknya pedas juga, ya?”