Begitu sampai di hotel, aku dan Medina langsung terjungkal di kasur. Kami sama-sama kelelahan setelah berjam-jam duduk di bus. Malam ini kami menginap di Hotel NuVe, yang berada di Jalan Pinang, Singapura. Hotel yang bercat putih ini tidak terlalu besar. Kamarnya cukup sempit, tetapi sangat bersih. Tarifnya sekitar SGD 100 semalam.
Sudah jam setengah dua belas malam, mataku belum juga terpejam. Kulirik Medina yang sudah jatuh terlelap. Sahabatku yang satu itu memang mudah untuk tertidur. Sebelumnya, ia bercerita kalau hatinya sedang berbunga-bunga karena ia merasa cocok dengan Aryo. Ternyata selama ini mereka sering pergi ke gym yang sama, Fitness First Platinum-Grand Indonesia. Namun, mereka tidak pernah bertemu ketika olahraga di sana.
“I think he kinda likes you.” tanggapanku ketika Medina menceritakannya.
Kembali kumainkan ponsel. Jejak telepon tak terjawab dari Danis sengaja kuabaikan. Berkali-kali pria itu menelpon dan mengirim pesan padaku. Memelas dan meminta maaf. Sampai saat ini hatiku belum ada niat untuk menjawabnya.
Grup angkatan SMAku masih ramai ketika Khaibar muncul untuk mengkonfirmasi foto kami berdua. Banyak dari mereka yang berspekulasi bahwa kami kembali menjalin kasih dan sedang merencanakan photoshoot untuk pernikahan. Sesekali aku menimpali di grup. Kujelaskan bahwa pertemuanku dan Khaibar tidak disengaja. Pastinya, ini liburan yang menjengkelkan sekaligus menyusuri masa lalu dengan membuka hati lama.
Layarku berubah.
Khaibar menelpon. “Belum tidur?”
“Enggak bisa tidur. Untuk apa kamu menelpon?”
“Aku lihat kamu sedang online. Jadi aku pikir lebih baik untuk telepon kamu.”
Kujauhkan ponselku karena menguap.
“Na, aku mau keluar. Berkeliling sebentar. Sepertinya sepotong martabak bisa mengganjal perut aku.” tukas Khaibar.
“Memangnya demam kamu sudah turun?” aku beranjak bangun dari ranjang.
“Sudah membaik. Ayolah, Na, temani aku jajan. Ya ya ya...” bujuk Khaibar seperti anak kecil.
“Kenapa enggak sama Mas Ali aja?” saranku.
Kubayangkan Khaibar menggelengkan kepalanya.
“Nana, nanti orang-orang di luar sana akan berasumsi kalau aku dan Ali adalah pasangan gay yang malam-malam keluar berduaan. Come on, aku akan traktir kamu di Resto Zam Zam.”
Kutatap arlojiku yang sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam.
“Baiklah. Tapi jangan malam-malam.”
Resto Zam Zam. Ya, bukan arah yang salah bagi tubuh yang lelah. Kukenakan pakaianku. Kuambil cardigan panjang dari koper. Siap melangkah keluar.
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Khaibar menyengir.
Aku menelan kembali kalimat “Khai, kamu keliatan tampan dengan rambut yang berantakan seperti ini.”
Tidak mungkin kukatakan itu. Yang ada nanti Khaibar malah kepedean tingkat langit.
“Bisa kita jalan sekarang?” tanya Khaibar memutuskan khayalan liarku.
“Sure!” ucapku salah tingkah.
Khaibar berjalan mendahuluiku. Lalu memencet tombol lift ground floor. Lalu kami masuk lift bersama. Tidak ada tamu lain yang menggunakan lift. Aku dan Khaibar sama-sama terdiam di dalam sana. Anehnya, detak jantungku berdetak lebih cepat. Suaranya mengisi kesunyian kami. Aku harap Khaibar tak mendengar suara detak jantungku yang sedang lomba maraton itu.
Resepsionis hotel menyapa kami ramah. “Good night. Enjoy your honeymoon.”
Kami berdua hampir saja tertawa mendengarnya. Khaibar mengangguk untuk membalas perkataan sang resepsionis yang tengah berjaga. Menjaga kseopanan. Aku pun tidak mengomentarinya. Setelah berjalan sepuluh menit, kami sampai di Resto Zam Zam. Pegawai restoran sudah mulai bersiap tutup. Salah kami yang tidak tahu waktu. Kubiarkan Khaibar memohon pada seorang manajer restoran untuk membuatkan kami chicken murtabak berukuran medium dan teh tarik.