Dua minggu setelah kepulangan dari luar negeri. Aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Khaibar. Kami menjalani kehidupan masing-masing. Hampir setiap hari Danis datang ke butik. Main sebentar lalu kembali ke klinik. Terkadang kalau aku tidak membawa mobil, Danis yang menjemputku. Dengan begitu, hubungan kami semakin membaik.
Mobil Danis berhenti ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Aku memandang ke luar jendela. Sebuah kios martabak menggoda seleraku. Ingatanku kembali saat di Resto Zam Zam
“Dan, kita minggir dulu yuk.” pintaku.
Danis mengalihkan pandangan dari layar ponselnya padaku.
“Minggir? Kamu mau ngapain, Sayang?”
“Ayo kita makan. Di situ.” kutunjuk gerobak martabak di sebrang kiriku.
Danis menatap tempat makan tersebut sebelum memberi keputusan. Aku harap-harap cemas kalau dia akan menolak makan di tempat seperti itu.
“Oke. Kebetulan aku juga belum makan malam.” aku tersenyum dengan jawaban Danis.
Mobil Danis masuk ke area parkir kios-kios yang menjual berbagai makanan. Kami berdua keluar dan memilih duduk di sudut ruangan.
“Kamu mau makan apa?” tanyaku.
“Do i have a choice?” tanyanya balik. Danis membolak balik daftar menu.
Aku menghela napas.
“Pesan martabak isi daging ayam ya, Pak.” kataku pada si penjual.
“Sayang, kamu mau minum apa?” Danis masih fokus pada daftar menu.
“Kamu minumnya apa, Ren?” tanya Danis balik. Lagi.
Aku menimbang-nimbang sebentar.
“Aku sih maunya teh tarik.”
Karena dua menu itu yang mengingatkan aku pada Khaibar.
“Kalau begitu aku pesan air putih aja.” Danis mencoba tersenyum.
Si penjual langsung membuatkan pesanan kami.
Danis melirikku, “Sepulang dari luar negeri, kamu jadi suka makan street food gini ya?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh.