Brand clothing line ku sedang banyak pesanan. Para pegawai butik sibuk packing. Sesekali aku ikut turun tangan. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Kulihat nomornya yang belum pernah kusimpan. Saat kubuka, tertera nama Niki di sana. Memberitahu bahwa ia akan berkunjung ke butikku. Sekaligus meminta alamat butik. Aku lupa-lupa ingat kalau ia pernah berniat menjahit gaun pestanya padaku. Sudah cukup lama aku tidak tahu kabar Niki.
Kami membuat janji temu sore nanti. Kulihat jam digital. Sudah sepuluh menit lewat dari waktu yang dijanjikan. Sambil menunggu, aku membuat sketsa desain gaun. Berbagai pensil warna dan cat memenuhi meja kerjaku.
Suara mesin mobil berhenti di depan butik. Dapat kutebak pasti kedatangan Niki. Ayu yang sedang di luar buru-buru masuk ke dalam.
“Sepertinya akan ada pasangan yang membuat gaun pernikahan ya, Mbak?” tanyanya. Aku tidak tahu kalau Niki datang ke sini dengan pasangannya.
Aku beranjak bangun, menyingkap tirai jendela, dan memandang kedatangan Niki ke butikku dengan seseorang. Niki lebih dahulu keluar dari mobil. Mataku terperanjat melihat sosok pria yang berjalan di belakang gadis itu. Hatiku gundah. Bagaimana aku akan bersikap di depan mereka?
Ayu yang tidak mengerti akan perubahan sikapku, mempersilahkan mereka berdua masuk. Ayu juga tidak tahu kalau pria yang datang bersama Niki saat ini adalah mantanku, Khaibar. Pria yang beberapa minggu ini mengusik hatiku. Merebut posisi Danis dari pikiranku. Dan menghilang tanpa kabar.
“Akhirnya kita bertemu lagi ya, Mbak Irena.” ujar Niki senang.
“Hai...” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Mataku bergantian melirik mereka berdua. Khaibar hanya terdiam.
Buru-buru Niki menjelaskannya, “Ah ya, setelah kita pulang dari luar negeri, aku dan Mas Khaibar sempat beberapa kali jalan bersama.” Niki memandang Khaibar dengan tatapan tersipu. Sepertinya aku tidak peduli hal itu. “Aku meminta Mas Khaibar untuk menjadi pasanganku di pesta pernikahan temanku nanti. Ya kan, Mas?”
Khaibar tersenyum paksa, “Aku tidak tahu kalau kamu mengajakku untuk datang ke sini.”
Aku mengumpat. Dari nadanya, sepertinya Khaibar tidak berniat untuk bertemu denganku.
“Loh memangnya Mas Khaibar belum pernah datang ke butiknya Mbak Irena? Aku pikir kalian berteman.” Niki pura-pura tidak tahu.
Ayu yang berdiri di dekat kami hanya memandang kami bingung.
“Ay, tolong buatkan minuman untuk tamu kita ya.” suruhku.
Ayu mengangguk. “Baik, Mbak.”
Aku duduk di balik mejaku. Niki duduk di hadapanku, sedangkan Khaibar memilih duduk di sofa panjang tak jauh dari kami.
“Jadi kamu mau desain yang sepeti apa untuk dress kamu?” tanyaku sambil melihat kain brukat berwarna peach yang dibawa oleh Niki.
Niki memberikan sebuah gambar model gaun dari layar ponselnya. “Kalau seperti ini bisa, Mbak?”
“Bisa saja, tetapi modelnya terlalu mewah. Bukankah itu sangat berlebihan jika dipakai seorang bridemaid? Bisa bisa sang pengantin wanita bisa kalah menarik.” kataku jujur. Aku mengerti kalau Niki sangat ingin tampil cantik di pesta temannya. Tidak hanya Niki, kebanyakan wanita memang ingin seperti itu.
Niki manggut-manggut. “Well, sepertinya Mbak Irena lebih paham. Kalau begitu Mbak Irena saja yang membuatkan desain gaunnya untukku. Yang penting gaun pestaku harus terlihat indah dan elegan.” kata gadis muda itu memerintah.
Aku menghela napas. Tanganku mulai bergerak di atas kertas putih. Menggambar adalah kesukaanku. Ayu telah kembali dengan membawa dua buah gelas berisi air sirup. Memberikannya pada Niki lalu Khaibar.
Kuberikan kertas bergambar sketsa itu pada Niki. Gadis itu terpesona dengan hasil desainku. “Ini cantik sekali, Mbak. Seperti gaun yang dipakai oleh Isyana di pesta pertunangannya.”
Ayu ikut jatuh hati oleh hasil desainku. “Keren banget, Mbak. Kalau saya menikah nanti, saya mau Mbak Irena yang buatkan gaunnya ya.”
“Emang sudah ada calonnya, Ay?” godaku.